BPBD Kotim Siap Hadapi Potensi Karhutla, Water Bombing Jadi Opsi Terakhir

Kepala BPBD Kotim, Multazam.
TINTABORNEO.COM, Sampit – Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Multazam, menegaskan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terutama dalam masa tanggap darurat. Dalam fase kritis tersebut, pengendalian langsung berada di tangan pimpinan daerah, sementara BPBD berperan sebagai pelaksana harian di lapangan.
“Dalam kondisi tanggap darurat, seluruh kendali ada pada pimpinan daerah. BPBD bertugas sebagai komando operasional harian,” ujar Multazam, Sabtu (14/6/2025).
Ia menjelaskan, dalam situasi darurat, upaya utama adalah menahan perluasan kebakaran agar tidak meluas. Jika karhutla meluas, maka kebutuhan sumber daya manusia dan peralatan pemadaman akan meningkat drastis, bahkan bisa memerlukan water bombing yang biayanya sangat tinggi.
“Water bombing dengan helikopter adalah opsi terakhir karena sangat mahal. Namun, bila diperlukan, tetap harus dilakukan demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih besar. Dampaknya bisa menjadi sorotan internasional, terkait komitmen pemerintah dalam penanganan bencana,” tegasnya.
Menurutnya, pada tahun 2023, Kotim sudah pernah menggunakan bantuan helikopter water bombing. Namun, bantuan itu bersifat regional dan juga melayani empat kabupaten lain, yakni Lamandau, Sukamara, Seruyan, dan Kotawaringin Barat. Saat itu, helikopter ditempatkan di Bandara Haji Asan Sampit.
“Namun perlu dipahami, penggunaan water bombing berada di bawah kewenangan pemerintah pusat melalui koordinasi dengan BNPB, karena menyangkut ambang batas dan kebutuhan lintas wilayah,” jelasnya.
Ia menambahkan, kondisi geografis Kalimantan Tengah, termasuk Kotim, dengan keterbatasan akses jalan darat, membuat sejumlah lokasi rawan karhutla sulit dijangkau. Dalam kondisi seperti itu, water bombing menjadi langkah paling efektif, meski tetap diharapkan bisa dicegah dari darat.
“Sejumlah wilayah tidak bisa dijangkau dengan kendaraan darat, bahkan ada yang hanya bisa dilalui dengan perahu. Itulah mengapa mitigasi darat tetap menjadi prioritas, agar tidak perlu mengandalkan helikopter,” tambahnya.
Untuk tahun 2025, BPBD belum bisa memastikan apakah penggunaan water bombing akan kembali diperlukan. Hal itu bergantung pada perkembangan eskalasi karhutla yang dipantau melalui laporan dari lapangan dan data Pusdalops BNPB, serta masukan dari berbagai pihak seperti TNI, Polri, dan pemerintah provinsi.
“Keputusan penggunaan water bombing dibahas di tingkat pusat berdasarkan eskalasi dan laporan lintas sektor. Kebencanaan adalah urusan bersama, tidak bisa diputuskan sepihak,” ungkapnya.
Saat ini, tren peningkatan jumlah titik panas (hotspot) mulai terdeteksi di bulan Juni. Meski masih dalam batas aman karena hujan masih turun, BPBD mencatat sudah terjadi 10 kejadian karhutla, sebagian besar di wilayah perkotaan.
“Analisis ini menjadi dasar bagi kami untuk segera mengajukan rapat koordinasi pengendalian karhutla kepada Bupati. Antisipasi harus dilakukan sejak dini,” pungkasnya. (ri)
