UMKM Andalan Ekonomi, Tapi Masih Terjerat Krisis Pembiayaan

<p>Suasana Bazar UMKM di salah satu event di Kota Sampit, beberapa waktu lalu. (Dok: Apri)</p>
Suasana Bazar UMKM di salah satu event di Kota Sampit, beberapa waktu lalu. (Dok: Apri)
Bagikan

TINTABORNEO.COM, Sampit – Unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kembali disorot terkait keterbatasan akses pembiayaan meski kontribusinya terhadap perekonomian nasional sangat besar. Pengamat ekonomi Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Rui Joaquim, menegaskan bahwa posisi UMKM sebagai tulang punggung ekonomi belum diimbangi dengan dukungan nyata  khususnya dalam kemudahan modal usaha.

Rui menyampaikan, keputusan pemerintah menjadikan PPh Final UMKM 0,5 persen sebagai kebijakan permanen merupakan angin segar bagi pelaku usaha kecil karena pajak tidak lagi menjadi beban psikologis maupun finansial. Namun ia menilai langkah tersebut belum cukup menjawab persoalan terbesar UMKM, yaitu akses pembiayaan.

“UMKM berperan sangat vital. Mereka menyerap lebih dari 97 persen tenaga kerja dan menyumbang lebih dari 60 persen PDB Indonesia. Tetapi kenyataannya, akses pembiayaan mereka masih jauh tertinggal dibanding sektor padat modal,” ujarnya, Jumat (5/12/2025).

Menurutnya, UMKM tersebar hingga ke pelosok desa dan selama ini berperan mengurangi kesenjangan antara kota dan desa, melestarikan kerajinan lokal, membuka lapangan kerja, sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat. 

Sebaliknya, kebijakan daerah masih cenderung memanjakan sektor perkebunan dan pertambangan yang dinilai lebih menjanjikan secara ekonomi.

“Yang jadi pertanyaan, apakah UMKM di Kalimantan Tengah sudah difasilitasi maksimal oleh pemerintah daerah? Atau kita masih mengandalkan sektor besar seperti perkebunan dan tambang? Pemerintah harus serius memberikan perhatian kepada UMKM,” tegasnya.

Rui menilai kebijakan bunga flat dan penghapusan batas pengajuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) seharusnya menjadi peluang emas mempercepat perputaran ekonomi daerah. 

Tetapi hal itu hanya akan berhasil bila perbankan mampu menjawab tantangan klasik yang selama ini menghambat UMKM.

“Sampai sekarang administrasi pengajuan KUR masih terlalu rumit. Perbankan harus mempercepat digitalisasi supaya riwayat transaksi calon debitur bisa dilacak otomatis. Itu indikator penting untuk menilai kelayakan kredit,” katanya.

Ia juga mendorong pola penyaluran modal yang lebih proaktif. Perbankan disebut perlu “jemput bola” dengan mendatangi pelaku usaha yang sudah berjalan untuk menawarkan tambahan modal tanpa menunggu mereka mengajukan sendiri.

“Jangan biarkan UMKM kecil mati hanya karena terpaksa meminjam ke koperasi harian. Pemerintah dan perbankan harus hadir memastikan mereka bisa bertahan dan berkembang,” tegasnya.

Rui menambahkan, penguatan UMKM bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal pemerataan kesejahteraan dan ketahanan daerah. Karena itu, ia meminta Pemerintah Daerah Kotim dan Kalimantan Tengah untuk tidak melewatkan momentum reformasi pembiayaan UMKM yang sedang berlangsung secara nasional. (ri)