DAMANDA Desak Penghentian Aktivitas PT BSL Usai Mangkir dari RDP

<p>Ketua DAMANDA Kotim, Hardi P Hady saat diwawancarai. (Foto: Apri) </p>
Ketua DAMANDA Kotim, Hardi P Hady saat diwawancarai. (Foto: Apri)
Bagikan

TINTABORNEO.COM, Sampit – Ketidakhadiran PT Bintang Sakti Lenggana (BSL) dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama DPRD Kotawaringin Timur kembali memicu amarah masyarakat adat. Agenda pada Senin (8/12/2025) itu digelar untuk membahas maraknya pembukaan hutan di Kecamatan Antang Kalang, namun perusahaan yang menjadi sorotan justru tidak muncul.

Bagi Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (DAMANDA), absennya PT BSL bukan sesuatu yang mengejutkan.

“Dari awal kami sudah memperkirakan mereka tidak akan hadir. Dugaan kami karena terlalu banyak pelanggaran. Induknya saja, PT BUM, tidak pernah menunaikan kewajibannya kepada masyarakat. Pemerintah bilang ada plasma, tapi sejengkal pun tidak ada,” tegas Ketua DAMANDA Kotim, Hardi P Hady. 

Hardi mengungkapkan bahwa izin PT BSL sebenarnya pernah masuk dalam daftar ratusan perusahaan yang dicabut oleh Kementerian Kehutanan tahun 2022. Namun masyarakat terkejut ketika mendengar munculnya izin baru yang tidak pernah disampaikan secara terbuka, termasuk terkait kawasan TORA.

“Izin mereka itu sudah dicabut tahun 2022. Tapi tiba-tiba belakangan muncul lagi izin baru. Kita tidak tahu permainan apa yang terjadi,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa pembukaan lahan oleh PT BSL terjadi di area yang sebagian besar masih berupa hutan utuh. Meski status HGU disebut belum jelas, kegiatan perusahaan terus berlangsung. Bahkan sebagian kebun sawit telah memasuki masa panen.

“Itu masih hutan sebenarnya. Tapi mereka tetap bekerja. Katanya belum HGU, tapi sudah panen. Lebih dari 500 hektare sudah berproduksi. Setahun terakhir saja sekitar 500–600 hektare lagi dibuka. Totalnya mendekati seribu hektare,” papar Hardi.

Dampak lingkungan mulai terlihat nyata. Menurut Hardi, banjir yang dulu hanya terjadi sesekali kini makin sering menghantam permukiman warga. Ia menyebut hilangnya tutupan hutan sebagai pemicu utama peningkatan intensitas banjir tersebut.

“Sekarang musim hujan sedikit saja air langsung meluap. Kalau dulu 10 tahun sekali baru banjir, sekarang bisa 10 kali dalam setahun. Kalau sudah masuk rumah, warga tidak bisa bekerja. Itu jelas merugikan,” katanya.

Melihat rangkaian persoalan tersebut, DAMANDA menilai aktivitas PT BSL tidak layak diteruskan. Mereka mendesak pemerintah dan instansi terkait mengambil langkah tegas.

“Aktivitas PT BSL harus dicabut. Instansi terkait wajib bertanggung jawab. Tidak mungkin mereka tidak tahu, atau jangan-jangan pura-pura tidak tahu,” tegas Hardi. (ri)