Konflik Buaya di Kotim Meningkat, Tapi Daerah Masih Bingung Menangani

<p>Kemunculan buaya yang kerap terjadi di Kotim, dan rawan membahayakan warga di dekat sungai. (Foto : Ist)</p>
Kemunculan buaya yang kerap terjadi di Kotim, dan rawan membahayakan warga di dekat sungai. (Foto : Ist)
Bagikan

TINTABORNEO.COM, Sampit – Konflik antara manusia dan buaya di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) kian mengkhawatirkan. Namun ironisnya, penanganan di lapangan justru terkendala persoalan kewenangan antarinstansi. Sejak kewenangan penanganan buaya dialihkan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), daerah kini masih mencari formula yang tepat untuk bertindak cepat saat terjadi serangan.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kotim Multazam, mengakui kebingungan tersebut. Menurutnya, selama ini BPBD kerap menjadi garda terdepan ketika muncul laporan warga hilang atau diserang predator air. Namun, setelah regulasi baru diterapkan, proses penanganan menjadi rumit karena belum ada mekanisme teknis yang jelas.

“Tugas kami biasanya dimulai saat ada laporan orang hilang atau diserang hewan predator. Setelah korban ditemukan, kami serahkan ke penegak hukum untuk visum. Nah, problemnya muncul ketika urusan buaya ini ternyata sudah bukan ranah BKSDA lagi, tapi KKP,” ujar Multazam, Senin (21/10/2025).

Ia menjelaskan, kondisi tersebut membuat pemerintah daerah harus kembali menyesuaikan jalur koordinasi. Di lapangan, instansi yang selama ini menangani konflik buaya belum memiliki panduan kerja baru setelah adanya peralihan kewenangan.

“BKSDA menyampaikan bahwa penanganan buaya kini sudah dialihkan ke KKP. Artinya, kami di daerah perlu menyesuaikan sistemnya. Tapi ini masih jadi tantangan, karena ketika kejadian terjadi, masyarakat tetap berharap penanganan cepat,” jelasnya.

Untuk mengantisipasi hal itu, BPBD bersama BKSDA telah mengusulkan pembentukan tim lintas instansi yang melibatkan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), aparat keamanan, serta relawan. Tim ini diharapkan bisa bergerak cepat ketika muncul kasus konflik buaya.

“Kami sudah koordinasi dan memang disarankan dibentuk tim khusus. Nantinya akan kami bahas bersama seluruh stakeholder agar ada kesepahaman. Prinsipnya, kami siap mendukung,” kata Multazam.

Ia menegaskan, dalam situasi darurat, keselamatan masyarakat tetap menjadi prioritas utama, terlepas dari siapa instansi yang paling berwenang. “Kalau sudah bicara soal nyawa warga, kami tidak bisa menunggu. Semua harus bergerak bersama,” tegasnya.

Serangan buaya di wilayah selatan Kotim memang terus meningkat dalam dua tahun terakhir. Daerah seperti Pulau Hanibung, Mentaya Hilir Selatan, Mentaya Hilir Utara, Pulau Hanaut, hingga Teluk Sampit, menjadi kawasan paling rawan. Banyak warga masih beraktivitas di bantaran sungai untuk mencari ikan, mencuci, dan mandi, sehingga risiko pertemuan dengan buaya sangat tinggi.

“Daerah selatan itu memang padat aktivitas masyarakat di sungai. Serangan predator sering terjadi, bahkan ada korban jiwa. Karena itu, penting ada langkah bersama yang cepat dan terkoordinasi,” ujar Multazam.

Sebelumnya, Kepala BKSDA Resort Sampit Muriansyah juga mendesak Pemkab Kotim segera membentuk lembaga khusus yang menangani konflik buaya. Menurutnya, tanpa koordinasi lintas sektor, potensi serangan dan korban akan terus meningkat.

Sebagai informasi, peralihan kewenangan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE). Dalam pasal 5A ayat 7 disebutkan, konservasi satwa liar di habitat perairan laut termasuk buaya menjadi kewenangan KKP.

Kondisi ini kini menjadi pekerjaan rumah bagi daerah. Di tengah meningkatnya konflik buaya di Sungai Mentaya dan sekitarnya, Pemkab Kotim diharapkan segera menyiapkan langkah nyata agar keselamatan warga tidak terus terancam. (ah)