6 Jam Berjuang di Laut Lepas, Kisah Kapten Ode Bertahan dari Maut

TINTABORNEO.COM, Sampit – Enam jam terapung di lautan lepas tanpa arah, hanya ditemani gelombang dan teriakan yang tak bersahut. Di tengah dinginnya malam dan ganasnya ombak, Kapten Ode (61) terus berjuang melawan maut, berpegang pada potongan liferaft sambil berharap ada keajaiban datang.
Dan benar keajaiban itu datang, ketika sebuah kapal nelayan muncul dari kejauhan, menyelamatkannya dari pelukan laut yang hampir menelannya hidup-hidup.
“Yang namanya musibah, kita tidak bisa mengelak. Semua sudah takdir Allah,” ucap Ode saat diwawancarai usai menemui jenzah di RSUD dr Murjani Sampit, pada Jumat (10/10/2025) sore.
Kapten asal Palembang ini merupakan satu-satunya korban selamat dari tenggelamnya Tugboat Datine 138 yang karam di laut lepas antara Pagatan, Kabupaten Katingan, menuju Kapuas.
Tragedi itu bermula ketika kapal yang dinakhodainya mengalami kebocoran hebat di tengah perjalanan. Air masuk semakin cepat, membuat kapal tak lagi bisa dikendalikan.
“Saya sempat mau arahkan kapal masuk ke Pagatan, tapi tidak bisa lagi. Bocornya sudah kuat,” ujarnya.
Empat orang di kapal itu berusaha menyelamatkan diri. Dua ABK sempat naik sekoci, satu berpegangan pada jeriken, dan Ode hanya mengandalkan liferaft alat penyelamat darurat yang hanyut di sekitar kapal.
“Saya kejar yang satu, tidak dapat. Kejar yang lain juga tidak dapat. Akhirnya apa yang hanyut di dekat saya, itulah yang saya pegang,” tuturnya.
Selama enam jam, ia terombang-ambing sendirian di laut luas. Tak ada suara selain hempasan ombak dan desiran angin.
“Saya berteriak terus, tapi yang mendengar hanya langit dan laut,” tuturnya.
Saat tubuhnya mulai lemas dan kakinya kram, ia melihat cahaya samar di kejauhan. Sebuah kapal nelayan tengah menuju arah tugboat yang tenggelam, namun tak menemukan siapa pun di sana. Ode, yang terapung jauh dari lokasi, berteriak sekuat tenaga hingga akhirnya terdengar.
“Nelayan itu awalnya mau ke arah kapal saya yang tenggelam. Tapi tidak ada orang di sana. Begitu dia lihat saya, dia baru sadar saya masih hidup,” kisahnya.
Bagi Ode, peristiwa mengerikan ini bukan yang pertama. Tahun 1995, saat masih menjadi Mualim I, ia pernah mengalami kejadian serupa di Laut Jawa. Dua hari terombang-ambing sebelum akhirnya ditemukan nelayan.
“Dulu jaraknya sekitar lima mil dari daratan. Sekarang tiga mil dari pantai. Dua kali saya diselamatkan oleh nelayan,” kenangnya.
Namun kali ini, rasa takut dan trauma yang ia alami jauh lebih dalam. Setiap kali makan atau mendengar suara ombak, pikirannya seolah kembali ke tengah laut.
“Kadang makan saja saya merasa seperti lagi berenang di laut. Trauma sudah. Saya tidak mau melaut lagi. Lebih baik kerja di darat saja, di hutan atau jualan,” ucapnya.
Meski trauma berat, Ode tetap berpegang pada tanggung jawabnya sebagai kapten kapal. Ia sadar, keselamatan awak kapal adalah tanggung jawab yang melekat pada dirinya.
“Saya dilepas supaya bisa bantu proses hukum. Apa pun hasilnya, saya tanggung. Hidup mati di laut sudah saya jalani sejak 1986,” katanya mantap.
Selama hampir empat dekade berkarier di dunia pelayaran, Ode telah membawa 122 kapal di berbagai perairan Indonesia. Namun peristiwa tenggelamnya Datine 138 menjadi luka paling dalam dalam hidupnya.
“Mungkin Allah masih kasih saya hidup supaya saya bisa cerita. Supaya orang tahu, laut itu bukan hanya tempat mencari nafkah, tapi juga tempat di mana nyawa bisa hilang kapan saja,” ungkapnya.
Kini, setelah dua kali selamat dari maut, Kapten Ode memutuskan menepi dari kehidupan yang telah lama ia cintai. Laut yang dulu menjadi rumahnya, kini berubah menjadi kenangan yang terlalu menyakitkan untuk kembali disinggahi.
”Saya sudah sangat trauma dengan laut. Bahkan kalo ada pekerjaan saya lebih memilih bekerja di hutan atau berjualan bakso saja. Trauma sudah,” tandasnya. (ri)