Smelter Bauksit Akan Dibangun di Pulau Hanaut

<p>Bupati Kotim, Halikinnor saat diwawancarai usai meresmikan pabrik kelapa sawit di Desa Bapanggang, Kecamatan MB Ketapang, Senin (8/9/2025). (Foto: Apri) </p>
Bupati Kotim, Halikinnor saat diwawancarai usai meresmikan pabrik kelapa sawit di Desa Bapanggang, Kecamatan MB Ketapang, Senin (8/9/2025). (Foto: Apri)
Bagikan

TINTABORNEO.COM Sampit – Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) bakal menjadi lokasi investasi besar di sektor pengolahan mineral. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang alumina berencana membangun smelter bauksit di wilayah Pulau Hanaut. Nilai investasi yang digelontorkan tidak main-main, diperkirakan mencapai Rp160 triliun yang dilakukan secara bertahap.

Bupati Kotim, Halikinnor, mengungkapkan perusahaan tersebut sebelumnya sudah beroperasi di Morowali, Sulawesi, selama sembilan tahun. Mereka juga sempat melirik sejumlah daerah di Kalimantan Barat, namun akhirnya menetapkan Kotim sebagai pilihan. Lokasi pembangunan smelter direncanakan mencakup kawasan dari Cemeti hingga Babaung, dengan luas kurang lebih 16 ribu hektare.

“Rencana investasi tahap pertama kurang lebih Rp50 triliun, dan bila semua tahapan selesai bisa mencapai total sekitar Rp160 triliun. Dari pengalaman mereka di Morowali, investasi Rp30 triliun saja mampu menyerap banyak tenaga kerja. Jadi kalau terealisasi di Kotim, dampaknya tentu sangat besar,” kata Halikinnor, Senin (8/9/2025).

Ia berharap keberadaan smelter bauksit tersebut bukan hanya menghadirkan lapangan kerja baru, tetapi juga memberi kontribusi lain bagi daerah. Selain penerimaan pajak dan royalti, multiplier effect dari aktivitas produksi diyakini akan mendorong perekonomian masyarakat, khususnya di kawasan sekitar lokasi pabrik.

“Kalau pabrik ini berdiri, hasil bumi dari daerah lain juga bisa dibawa ke Sampit. Otomatis roda ekonomi akan berjalan. Harapan kita bukan hanya tenaga kerja, tapi juga penerimaan daerah dari royalti, pajak, dan tumbuhnya usaha masyarakat sekitar,” jelasnya.

Halikinnor menegaskan agar perusahaan memprioritaskan tenaga kerja lokal. Pengecualian hanya untuk posisi tertentu yang membutuhkan keterampilan teknis tinggi. Selain itu, ia meminta agar program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) difokuskan pada pembangunan daerah Pulau Hanaut yang masih tertinggal.

“Pertama, tenaga kerja harus diutamakan dari masyarakat lokal. Kedua, CSR mereka harus benar-benar diarahkan untuk membangun daerah. Ketiga, segala bentuk usaha yang ada di sana harus lebih dulu melibatkan pengusaha atau masyarakat pribumi,” tegasnya. (ri)