Pengamat Nilai Skema Pengelolaan Sawit PT Agrinas Rawan Konflik

TINTABORNEO.COM, Sampit – Pengamat Kebijakan Publik di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Muhammad Gumarang menilai skema pengelolaan perkebunan kelapa sawit oleh PT Agrinas Palma Nusantara di Kalimantan Tengah rawan gagal dan perlu ditinjau ulang.
“Banyak aspek yang berpotensi menimbulkan persoalan baru dalam skema pengelolaan perkebunan kelapa sawit oleh PT Agrinas Palma Nusantara, mulai dari status hukum lahan hingga kerentanan konflik sosial,” kata Gumarang, Minggu (7/9/2025).
Sebelumnya, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) melakukan penyitaan terhadap 240 ribu hektare lahan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah yang berstatus kawasan hutan.
Dari jumlah tersebut, sekitar 12.059 hektare eks lahan PT Globalindo Alam Perkasa di Sampit diserahkan kepada PT Agrinas, perusahaan di bawah naungan super holding BUMN, Danantara.
Namun, menurut Gumarang, lahan yang dialihkan tersebut masih berstatus kawasan hutan sehingga tidak memiliki dasar hukum operasional yang jelas.
“Sehingga timbul pertanyaan, dasar hukum apa yang mendasari PT Agrinas terhadap perizinan operasionalnya? Ini sangat krusial dan rawan dipersoalkan,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, lahan tersebut rawan konflik agraria maupun klaim masyarakat setempat. Potensi gesekan dengan warga sangat besar jika pengelolaan dilakukan tanpa penyelesaian persoalan mendasar.
“Karena kawasan tersebut masih berstatus kawasan hutan maka tetap rawan terjadi klaim lahan oleh masyarakat atau konflik agraria dengan pengelola baru,” tuturnya.
Ia juga menyinggung rekam jejak perusahaan plat merah yang kerap bermasalah dalam pengelolaan usaha non perbankan.
“Perusahaan di bawah naungan plat merah memiliki rekam jejak yang jelek atau selalu rugi, akibat korupsi dan pemborosan. Selama ini hanya sektor perbankan yang relatif sukses dalam pengelolaan bisnis oriented,” tegasnya.
Gumarang juga menyoroti keterlibatan pihak luar, yakni Yayasan Pesantren Al Aisyah Bondowoso dari Jawa Timur dan PT MNA asal Jakarta dalam operasional PT Agrinas Palma Nusantara.
“Kebijakan tersebut justru mencederai kearifan lokal, apalagi di tengah masih banyaknya persoalan agraria dan kewajiban plasma 20 persen yang belum terselesaikan.” tambahnya.
Lebih jauh, ia menduga kehadiran PT MNA asal Jakarta hanya merupakan modus untuk melanjutkan keterlibatan pihak lama. Sebab, pengambilalihan bukan hanya mencakup lahan kebun sawit, tetapi juga fasilitas perusahaan seperti pabrik, kantor, dan perumahan. Kondisi ini menimbulkan kesan hanya sekadar pergantian pemain yang dikemas dengan simbol BUMN.
Gumarang pun menyarankan agar PT Agrinas meninjau ulang skema pengelolaan dengan melibatkan perusahaan maupun pelaku usaha lokal.
“Kalau melibatkan perusahaan luar, itu justru menambah masalah. Padahal di sini banyak lembaga sosial maupun perusahaan lokal yang membutuhkan dukungan,” pungkasnya. (ri)