Masa Depan Non-ASN Kotim di Ujung Tanduk, Apa yang Terjadi Akhir 2025?

<p>Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kotim, Kamarudin Makalepu. (Foto : Andri)</p>
Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kotim, Kamarudin Makalepu. (Foto : Andri)
Bagikan

TINTABORNEO.COM, Sampit – Ratusan tenaga Non-Aparatur Sipil Negara (non-ASN) di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) masih menghadapi ketidakpastian status kerja. Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kotim, Kamarudin Makalepu, mengatakan bahwa nasib mereka sangat bergantung pada kebijakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).

“Kalau sampai 31 Desember tidak ada kebijakan baru dari Kemenpan, maka kontrak mereka berakhir dan tidak bisa diperpanjang lagi. Itu sesuai aturan,” tegas Khamarudin, Selasa (30/9/2025).

Ia menjelaskan, aturan tersebut merujuk pada pendataan tenaga non-ASN yang dilakukan Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada 2022. Hanya tenaga yang masuk dalam pendataan resmi itulah yang diakui dalam sistem, sedangkan yang tidak masuk dianggap non-database dan otomatis tidak bisa diakomodasi dalam pengangkatan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Berdasarkan data BKPSDM Kotim, jumlah tenaga non-ASN yang tidak masuk database BKN diperkirakan lebih dari 200 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 133 orang masuk kategori non-database, sementara sisanya adalah tenaga yang sebelumnya memilih jalur tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan tidak mengikuti seleksi PPPK. “Nah, tenaga non-database inilah yang saat ini tidak bisa diakomodir dalam pengangkatan PPPK,” jelas Kamarudin.

Situasi ini membuat sebagian tenaga kerja yang telah lama mengabdi terancam kehilangan status mereka. Tidak sedikit di antaranya yang sudah bekerja lebih dari dua tahun, namun tetap tidak bisa diperpanjang kontraknya karena terhalang pendataan 2022.

“Sebagian besar tenaga non-database masih bisa ikut tes PPPK paruh waktu. Namun yang kemarin memilih jalur CPNS itu tidak terakomodir. Jumlahnya lebih dari 100 orang,” tambahnya.

Meski kondisi terlihat semakin sulit, pemerintah daerah tetap berusaha mencari jalan keluar. Khamarudin menuturkan, komunikasi dengan pemerintah pusat terus dilakukan agar ada peluang bagi tenaga non-ASN yang belum masuk dalam sistem resmi. “Kita tetap berharap ada peluang. Tapi kalau sampai batas akhir tidak ada kebijakan, ya kami harus mengikuti aturan yang berlaku,” ujarnya.

Sebagai alternatif, ia menyebutkan jika organisasi perangkat daerah (OPD) masih membutuhkan tenaga tambahan, mekanisme yang dapat ditempuh adalah melalui skema pengadaan barang dan jasa. “Kalau ada kebutuhan, mekanismenya diserahkan ke OPD masing-masing, apakah bisa diakomodir atau tidak. Itu bukan lagi ranah kami di BKPSDM,” ungkapnya.

Ketidakpastian ini menjadi beban psikologis tersendiri bagi para tenaga non-ASN. Banyak dari mereka yang sudah terbiasa bekerja di lingkungan pemerintahan dan mengandalkan pekerjaan ini sebagai sumber penghidupan utama. Dengan aturan yang kian ketat, harapan untuk tetap bertahan semakin tipis.

Namun, Khamarudin menegaskan bahwa pihaknya berusaha memberikan kepastian dengan menyampaikan kondisi sebenarnya, agar para tenaga non-ASN dapat bersiap menghadapi segala kemungkinan. “Kami hanya bisa memfasilitasi sampai di titik ini, yakni bagi teman-teman yang memenuhi syarat menjadi ASN. Sisanya kita menunggu kebijakan pusat,” tuturnya.

Meski nasib tenaga non-ASN sepenuhnya ditentukan pemerintah pusat, Pemkab Kotim diminta untuk tidak lepas tangan. Perencanaan tenaga kerja jangka panjang, terutama pada sektor-sektor pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan, menjadi hal penting agar kebutuhan tenaga kerja tetap terpenuhi.

Jika tidak diantisipasi sejak dini, berakhirnya kontrak tenaga non-ASN berpotensi menimbulkan kekosongan pada beberapa unit kerja yang selama ini masih sangat bergantung pada tenaga tambahan tersebut.

Khamarudin menekankan bahwa regulasi dari pemerintah pusat wajib dipatuhi. Namun, ia juga menyadari dampaknya cukup besar, baik bagi tenaga kerja maupun bagi pelayanan publik. Karena itu, ia berharap kebijakan yang lebih berpihak dapat segera dirumuskan. “Kalau tidak ada solusi, banyak OPD akan kehilangan tenaga kerja yang sebenarnya masih sangat dibutuhkan,” pungkasnya. (fi)