Silat Kuntau Bangkui Diakui sebagai Kekayaan Intelektual Komunal Kotim

|
<p>Pemkab Kotim menerima sertifikat pengakuan Kekayaan Intelektual Komunal Silat Kuntau Bangkui dari Kemenkumham Kalteng, Selasa (5/8/2025). (Foto : Andri)</p>

Pemkab Kotim menerima sertifikat pengakuan Kekayaan Intelektual Komunal Silat Kuntau Bangkui dari Kemenkumham Kalteng, Selasa (5/8/2025). (Foto : Andri)


TINTABORNEO.COM, Sampit – Kabar membanggakan datang dari dunia budaya lokal Kotawaringin Timur (Kotim). Seni bela diri tradisional Silat Kuntau Bangkui kini resmi tercatat sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) oleh Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Sertifikat pengakuan ini diserahkan langsung kepada Pj Sekda Kotim Masri yang mewakili pemerintah daerah. Hal ini menjadi bukti bahwa Kuntau Bangkui adalah hasil karya budaya masyarakat Kotim yang kini mendapat perlindungan hukum.

“Sekarang tidak ada lagi ruang bagi pihak luar untuk mengklaim. Silat Kuntau Bangkui sudah sah tercatat sebagai milik masyarakat Kotim,” ujar Masri, Selasa (5/8/2025).

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kotim Bima Ekawardhana yang turut mendampingi pada penyerang sertifikat tersebut menyampaikan pencatatan ini bukan sekadar urusan dokumen hukum. Lebih dari itu, ini adalah bentuk perlindungan terhadap jati diri dan kreativitas masyarakat lokal.

“Kami ingin agar budaya Kotim punya daya saing, tidak hanya di tingkat lokal tapi juga nasional dan internasional. Sertifikat ini jadi modal awal untuk itu,” tuturnya.

Disampaikannya, Disbudpar Kotim juga tengah menyiapkan pengajuan KIK untuk sejumlah kuliner khas daerah, seperti jajanan Mata Gajah, serta berbagai tari tradisional dan karya budaya lainnya.

“Kami akan terus inventarisasi. Tidak hanya makanan, tapi juga tarian, lagu, hingga benda-benda budaya hasil karya masyarakat Kotim,” tambah Bima.

Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Kalteng, Hajrianor, yang turut hadir dalam penyerahan sertifikat, menjelaskan bahwa pencatatan KIK adalah langkah awal untuk meningkatkan nilai ekonomi dari sebuah karya budaya.

“Contoh sederhana saja, kopi. Dulu dijual Rp4.000 per cangkir. Tapi setelah diberi nama dan didaftarkan mereknya, nilainya bisa berkali lipat,” ujarnya.

Hajrianor juga menyoroti pentingnya kesadaran hukum atas hasil karya. Menurutnya, banyak kasus di mana karya lokal diklaim pihak lain hanya karena belum didaftarkan secara resmi.

“Prinsipnya sederhana, siapa cepat dia dapat. Siapa yang lebih dulu mendaftarkan, dialah pemilik sah di mata hukum,” katanya.

Kementerian Hukum dan HAM pun mendorong agar masyarakat dan Pemda aktif mendata serta mendaftarkan kekayaan intelektual lokal. Menurut Hajrianor, jika tidak dilindungi, potensi budaya lokal bisa diambil alih pihak lain.

“Kami siap mendampingi proses pendaftaran. Tapi tentu harus ada inisiatif dari daerah. Jangan sampai kekayaan budaya kita dinikmati orang lain tanpa perlindungan hukum,” tegasnya. (dk)