Perlindungan Perempuan dan Anak Perlu Dukungan Semua Pihak
TINTABORNEO.COM, Sampit – Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Riskon Fabiansyah, menilai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah ini ibarat fenomena gunung es. Artinya, kasus yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil, sementara jumlah yang tidak terungkap kemungkinan lebih banyak.
Menurut Riskon, kondisi ini terjadi karena masih adanya anggapan tabu di masyarakat ketika kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dibicarakan secara terbuka. Banyak keluarga yang enggan melaporkan peristiwa tersebut dengan alasan menjaga nama baik atau ragu proses hukum akan berjalan maksimal.
“Banyak masyarakat yang belum yakin ketika kasus ini diungkap ke permukaan akan berbanding dengan hukuman yang dikenakan kepada pelaku. Ini menjadi tantangan kita bersama, karena penegakan hukum kasus perempuan dan anak tidak bisa hanya diselesaikan aparat penegak hukum, tapi harus ada sinergi dengan masyarakat dan pegiat perlindungan,” kata Riskon, Jumat (22/8/2025).
Ia menekankan, penanganan kasus perempuan dan anak membutuhkan dukungan banyak pihak, bukan hanya aparat penegak hukum. Sinergi antara pemerintah daerah, legislatif, aparat yudikatif, hingga masyarakat sangat diperlukan agar korban benar-benar mendapatkan perlindungan.
Riskon menambahkan, forum diskusi bersama berbagai pemangku kepentingan perlu digelar secara berkesinambungan. Forum tersebut dapat menjadi ruang evaluasi sekaligus mengukur keseriusan pemerintah daerah dan lembaga perlindungan dalam meningkatkan respons terhadap kasus yang muncul.
“Dari sini kita bisa melihat kekurangan yang ada, dan ke depan dinas teknis maupun aparat yudikatif diharapkan lebih responsif, terutama dalam memperjelas apakah sebuah kasus bisa diproses atau tidak,” ujarnya.
Di sisi lain, Riskon juga menyinggung belum adanya Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) di Kotim. Menurutnya, keberadaan lembaga ini sangat penting untuk mendampingi korban perempuan dan anak, sekaligus memperkuat upaya perlindungan di tingkat daerah.
“Selama ini memang belum pernah disampaikan ke legislatif terkait perencanaan pembentukan LPKS. Namun, ini akan menjadi bahan follow up kami bersama Pemerintah Kabupaten Kotim, khususnya Dinas Sosial,” jelasnya.
Ia mengakui, keterbatasan anggaran menjadi salah satu kendala. Terlebih dalam lima tahun terakhir, Kotim menghadapi berbagai tantangan, mulai dari pandemi Covid-19 hingga kebijakan efisiensi anggaran yang menyulitkan pembentukan lembaga baru.
Meski demikian, DPRD Kotim menegaskan akan terus mendorong agar program perlindungan perempuan dan anak mendapat perhatian lebih. Harapannya, kasus-kasus yang selama ini terpendam dapat terungkap, dan korban mendapatkan keadilan yang semestinya. (ri)