Pemblokiran Rekening Bisa Turunkan Kepercayaan Masyarakat pada Pemerintah
TINTABORNEO.COM, Sampit – Wakil Ketua I Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Gahara, menilai kebijakan pemerintah terkait pemblokiran rekening tidak aktif selama tiga bulan atau rekening dormant bukan keputusan yang matang. Kebijakan ini dinilai justru menyulitkan masyarakat, terutama yang tinggal di pedesaan.
“Tidak semua masyarakat kita bisa aktif bertransaksi di bank. Banyak yang tinggal di pelosok dengan akses yang sulit dijangkau. Jika rekening mereka diblokir, mereka harus menempuh perjalanan berjam-jam bahkan berhari-hari hanya untuk mengurus kembali ke bank. Itu sangat merepotkan,” tegas Gahara, Selasa (19/8/2025).
Menurutnya, meskipun pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di perkotaan relatif tidak terdampak karena terbiasa bertransaksi melalui layanan perbankan digital, kondisi berbeda dirasakan warga pedesaan.
Di wilayah pelosok, masyarakat kerap menggunakan rekening bank hanya untuk menyimpan hasil kebun atau penjualan tanah, sehingga aktivitas transaksi tidak dilakukan rutin.
“Kalau di kota mungkin tidak ada masalah, karena mudah mengurus reaktivasi rekening. Tapi di desa berbeda. Prosesnya memerlukan waktu panjang dan tidak bisa selesai sekali datang,” jelasnya.
Selain masyarakat pedesaan, kelompok lain yang berpotensi terdampak adalah kontraktor. Gahara mencontohkan, ada kontraktor yang hanya bertransaksi saat mendapatkan proyek, bahkan bisa setahun sekali.
“Modal kerja mereka disimpan di bank. Kalau lebih dari tiga bulan tidak ada transaksi, rekening bisa diblokir. Padahal, transaksi biasanya baru ada saat kontrak pekerjaan turun. Aturan ini jelas menyulitkan,” ujarnya.
Ia menegaskan, kebijakan tersebut bisa menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sebagai pembuat aturan. Pasalnya, perbankan hanya menjalankan kebijakan yang ditetapkan.
“Kalau tujuannya untuk membatasi aktivitas mencurigakan seperti pencucian uang atau tindak pidana korupsi, tentu kita dukung. Tapi hingga sekarang tidak ada kejelasan apa maksud dan tujuan kebijakan ini. Pemerintah sebaiknya mengkaji ulang,” tandasnya. (ri)