Lahan Sawit Nomor Dua Nasional, Tapi DBH Kotim Hanya Rp16 Miliar! Ada Apa?

Ketua DPRD Kotim, Rimbun (Foto: Agus)
TINTABORNEO.COM, Sampit – Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), yang dikenal sebagai salah satu daerah dengan luasan kebun sawit terbesar di Indonesia, justru menghadapi ironi skat. Meski memiliki perkebunan sawit seluas lebih dari 400 ribu hektare dan tercatat sebagai daerah nomor dua terluas secara nasional, namun Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima dari pemerintah pusat hanya Rp16 miliar.
Ketua DPRD Kotim, Rimbun, dengan tegas mengatakan angka tersebut sebagai bentuk ketimpangan yang mencolok. Ia mempertanyakan keseriusan pemerintah pusat dalam memperhatikan kontribusi nyata Kotim terhadap perekonomian nasional, sekaligus mengkritik lemahnya keberanian daerah dalam memperjuangkan haknya.
Ini sangat janggal. Kotim itu nomor dua se-Indonesia untuk luasan sawit, tapi bagi hasilnya hanya Rp16 miliar. Sementara daerah lain seperti Muara Teweh sudah menikmati PAD hingga Rp3,5 triliun. Tahun 2025 ini Pemkab Kotim harus mempertanyakan serius hal ini
“Ini janggal. Kita ini penghasil sawit dan nomor dua untuk kuasa sawit, tapi hanya diberi Rp16 miliar. Lihat Muara Teweh, PAD-nya sudah Rp3,5 triliun. Harusnya tahun 2025 ini, Tahun 2025 ini Pemkab Kotim harus mempertanyakan serius hal ini, “ tegas Rimbun, Rabu (6/8/2025).
Rimbun menilai, akar persoalan ini tidak hanya pada regulasi pusat, tetapi juga pada kelemahan daerah dalam memaksimalkan potensi PAD. Beberapa sumber pendapatan seperti retribusi alat berat, angkutan tambang, hingga kegiatan pertambangan batubara dan bauksit yang melewati wilayah Kotim, nyaris tak memberi kontribusi nyata.
Jangan sampai PAD kita itu-itu saja. Kita sudah buat Perda, tapi implementasinya hanya di atas kertas. Harusnya Pemkab tegas menagih haknya. Kalau pusat cuma ambil hasilnya, daerah yang kena getahnya
“Kita sudah buat Perda, tapi implementasinya lemah. Harusnya pemkab tegas menagih haknya. Jangan hanya pusat yang ambil hasil, Kalau pusat cuma ambil hasilnya, daerah yang kena getahnya,” tukasnya.
Kritik juga dilontarkan terkait program plasma sawit, yang disebut-sebut sebagai hak masyarakat di sekitar perkebunan, namun hingga kini realisasinya masih simpang siur. Rimbun menyebut lemahnya kontrol dan ketegasan daerah membuat masyarakat Kotim terus dirugikan.
“Plasma menurut Menteri ATR/BPN harusnya ada di dalam HGU. Tapi di sini justru banyak di luar HGU. Ketika masalah muncul, pusat tinggal bilang itu kelalaian daerah. Ini karena kita dari awal tidak tegas,” ujarnya.
Tak berhenti di sektor sawit, DPRD Kotim juga menyoroti aktivitas tambang batubara dan bauksit yang menggerus jalan-jalan umum di Kotim, namun tidak memberi timbal balik yang layak bagi daerah.
“Coba lihat di Luwuk Bunter, Cempaga. Truk-truk tambang lewat setiap hari, tapi daerah cuma dapat PBB 12 hektar. Itu pun nilainya sangat kecil. Kita ini seperti dikangkangi aturan pusat, padahal kita punya Perda sendiri,” jelasnya.
Lebih miris lagi, lanjutnya, aktivitas ekspor kernel sawit dari Kotim hingga ke Vietnam tak menyumbang sepeser pun untuk kas daerah. Ia menyebut praktik seperti ini sebagai bentuk ketimpangan struktural yang tak boleh lagi dibiarkan.
“Rp1.000 pun tidak masuk ke kas Kotim. Pengusahanya orang luar, beroperasi bebas, tapi tidak ada manfaatnya bagi masyarakat lokal,” katanya.
Rimbun menegaskan, jika kondisi ini terus dibiarkan, maka Kotim hanya akan menjadi penonton dari eksploitasi sumber daya alamnya sendiri, dan di masa depan, hanya akan mewarisi kerusakan lingkungan tanpa kesejahteraan.
“Kalau kita tidak tegas, nanti ketika kekayaan alam kita habis, yang tersisa hanya jalan rusak, lingkungan rusak, dan masyarakat hanya bisa jual tanah urug.,” pungkasnya. (li)