Kesejahteraan Guru Honorer di Kotim Perlu Perhatian!

<p>Praktisi pendidikan Kotawaringin Timur, Deny Hidayat. (Foto: Apri) </p>
Praktisi pendidikan Kotawaringin Timur, Deny Hidayat. (Foto: Apri)
Bagikan

TINTABORNEO.COM, Sampit – Isu mengenai kesejahteraan guru honorer kembali menjadi perhatian publik. Minimnya penghasilan dan belum jelasnya status mereka dinilai sebagai masalah utama yang belum terselesaikan.

Praktisi pendidikan Kotawaringin Timur, Deny Hidayat, menyampaikan bahwa status honorer perlu diperjelas. Menurutnya, sistem honor daerah kini sudah tidak ada lagi sehingga jalur resmi yang tersedia hanyalah melalui mekanisme Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

“Gurunya honor itu honor sekolah sajakah atau honor daerah? Sebenarnya honor daerah itu sekarang sudah tidak ada lagi. Minimal sekarang jalurnya PPPK,” ujar Deny, Kamis (21/8/2025).

Ia menjelaskan, guru honorer yang digaji sekolah biasanya menerima bayaran dari iuran komite. Nominal yang diterima sangat bervariasi, rata-rata hanya Rp300 ribu sampai Rp600 ribu per bulan, bahkan ada yang dihitung per jam mengajar. 

“Satu jam pelajaran sekitar Rp12.500. Kalau maksimal 24 jam seminggu, paling tinggi gajinya Rp600 ribu. Itu pun biasanya dibayar dari iuran komite,” jelasnya.

Lebih lanjut, Deny menekankan pentingnya sinkronisasi data melalui Dapodik. Guru yang sudah memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) serta terdata minimal dua tahun, kata dia, lebih mudah diperjuangkan statusnya. 

“Kalau tidak masuk Dapodik, dinas juga susah untuk memperhatikan. Tapi kalau sudah punya NUPTK, mereka bisa masuk program tunjangan, bahkan meski belum S1 tapi ada riwayat pendidikannya,” ucapnya.

Ia menambahkan, pemerintah daerah juga perlu menginventarisir kebutuhan guru, termasuk memberikan dukungan transportasi. Deny menyebut keterlibatan perusahaan sekitar melalui program CSR bisa membantu sementara waktu. 

“Kebutuhan mereka harus diperhatikan, termasuk transportasi. CSR perusahaan sawit atau RMU bisa ikut membantu,” tegasnya.

Menurutnya, DPRD Kotim juga memiliki peran penting dalam memperjuangkan tunjangan tambahan bagi guru yang bertugas di daerah sulit. Ia menilai, anggaran pendidikan daerah masih sering dialihkan ke program lain, sementara alokasi pusat melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) semakin terbatas. 

“CSR perusahaan sawit bisa dilibatkan, begitu juga hibah dari berbagai pihak. Kalau hanya menunggu dari pusat, guru honorer kita akan terus kesulitan,” pungkasnya. (ri)