Guru Honorer di Kotim Rela Rogoh Kantong Rp450 Ribu Per Bulan untuk Mengajar Gaji Hanya Rp500 Ribu

Nampak perjuangan para guru SDN 6 Mentaya Sebrang, Kecamatan Seranau saat menempuh perjalanan menyeberangi Sungai Mentaya, beberapa waktu lalu. (Foto: Tangkap layar)
TINTABORNEO.COM, Sampit – Perjuangan guru di pedalaman Kotawaringin Timur (Kotim) sungguh luar biasa. Setiap hari, mereka harus menempuh perjalanan darat, menyeberangi Sungai Mentaya dengan perahu kecil, hingga berjalan kaki sebelum tiba di SDN 6 Mentaya Seberang, Desa Ganepo, Kecamatan Seranau.
Namun, perjuangan itu tak sebanding dengan kesejahteraan yang mereka dapatkan. Salah satunya dialami Rabiyatul Dwi Andita, guru honorer yang sudah dua tahun mengabdi di sekolah tersebut. Dengan gaji sekitar Rp500 ribu per bulan, Dita harus mengeluarkan hampir Rp450 ribu hanya untuk biaya transportasi.
“Untuk perahu nyebrang saja Rp150 ribu per bulan, belum lagi bensin motor bisa sampai Rp300 ribu. Kalau dihitung-hitung, gaji habis untuk ongkos. Bahkan kadang harus nombok,” ujarnya, Rabu (20/8/2025).
Perjalanan itu ia jalani setiap hari Senin hingga Sabtu. Berangkat pukul 06.00 WIB dari rumahnya di Kota Sampit, tiba di sekolah sekitar pukul 07.00 WIB, dan pulang bersama rombongan guru serta murid sekitar pukul 13.00 WIB.
“Kalau panas ya kepanasan, kalau hujan ya kehujanan. Perahunya kecil tanpa atap, tapi tetap kami jalani karena sudah menjadi tanggung jawab,” tambahnya.
SDN 6 Mentaya Seberang saat ini memiliki sembilan guru, termasuk kepala sekolah. Namun, hanya kepala sekolah yang berstatus PNS, empat lainnya PPPK, dan sisanya masih honorer. Dua tahun lalu, sekolah ini bahkan hanya memiliki tiga guru aktif.
Meski status honorer, Dita tetap bertahan mengajar sambil menyelesaikan kuliah S1. Baginya, anak-anak di pedalaman tidak boleh kehilangan kesempatan belajar. “Kalau kami berhenti, siapa yang akan mengajar mereka?” katanya.
Kisah perjuangan guru di Seranau ini viral setelah video perjalanan mereka menyeberangi sungai diunggah ke media sosial. Dalam video itu, Dita juga menyinggung pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang sempat menyebut belanja pegawai, termasuk gaji guru, menjadi beban negara.
Dita berharap pemerintah daerah bisa memberi perhatian lebih, khususnya soal transportasi. Menurutnya, hampir semua guru di Kecamatan Seranau tinggal di Kota Sampit dan harus menyeberangi sungai dengan biaya sendiri.
“Setidaknya ada dukungan untuk transportasi penyeberangan. Jangan sampai perjuangan guru di pelosok dianggap biasa saja,” ujarnya.
Di tengah keterbatasan fasilitas dan gaji minim, para guru pedalaman tetap hadir setiap hari, menjaga semangat belajar anak-anak. Meski negara menyebut mereka beban, masyarakat tahu: tanpa mereka, masa depan akan gelap. (ri)