Warga Tetap Tempuh Jalur Hukum Lawan PT MAP

|
<p>Mediasi sengketa lahan antara warga dan pihak PT MAP, Kamis (17/7/2025). (Foto: Ist) </p>

Mediasi sengketa lahan antara warga dan pihak PT MAP, Kamis (17/7/2025). (Foto: Ist) 


TINTABORNEO.COM, Sampit – Meski akses jalan menuju Kilometer 18 Jalan Jenderal Sudirman, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), yang sempat ditutup oleh PT Mulia Agro Permai (PT MAP) telah dibuka kembali, persoalan hukum antara masyarakat dan perusahaan belum berakhir. Warga bersama kuasa hukum tetap melanjutkan perjuangan hukum atas klaim kepemilikan lahan yang diduga telah dikuasai perusahaan tanpa penyelesaian yang jelas.

Kuasa hukum warga, Anekaria Safari, mengungkapkan bahwa masih terdapat sejumlah tuntutan dari lima kelompok masyarakat, termasuk klaim atas tanah seluas lebih dari 300 hektare yang belum ditanggapi perusahaan.

“Untuk tuntutan lima kelompok, termasuk lahan seluas 300 hektare lebih itu, kami akan terus melakukan upaya hukum dan langkah-langkah lainnya demi memperjuangkan hak-hak masyarakat,” ujarnya, Kamis (17/7/2025).

Anekaria menegaskan bahwa sebagian lahan yang sebelumnya dikuasai perusahaan kini telah berhasil dikembalikan kepada warga. Hal tersebut menjadi bukti bahwa ada indikasi perampasan lahan.

“Ini adalah tanah milik warga yang dulu dikuasai perusahaan. Setelah perjuangan panjang, akhirnya dikembalikan. Bahkan perusahaan mengakui bahwa lahan ini berada di luar HGU. Ini bukti bahwa selama ini hak masyarakat telah dirampas,” katanya.

Ia juga menyebutkan, dari total 1.400 hektare yang diklaim masyarakat, masih ada sekitar 280 hektare yang belum terselesaikan. Permasalahan kian kompleks karena kawasan tersebut masuk dalam wilayah hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2005.

“Lahan seluas 1.470 hektare yang dikuasai PT MAP berada dalam kawasan hutan. Bahkan Satgas Penataan Kawasan Hutan sudah memasang papan peringatan di lokasi tersebut,” jelasnya.

Namun, lanjutnya, pihak perusahaan diduga menolak pengakuan tersebut dan bahkan memindahkan papan peringatan Satgas ke lokasi lain.

“Perusahaan menyangkal bahwa wilayah itu kawasan hutan. Diduga ada oknum yang memindahkan papan milik Satgas ke wilayah Km 26. Ini menunjukkan adanya upaya pengaburan fakta di lapangan,” tegas Anekaria.

Atas dasar itu, ia meminta aparat penegak hukum bertindak tegas terhadap perusahaan yang dianggap telah merampas hak-hak masyarakat.

“Kami mendesak penegak hukum untuk bersikap tegas. Masyarakat selama ini telah dizalimi. Kami akan terus berjuang, baik di tingkat daerah maupun pusat,” tegasnya.

Sementara itu, Rudianto, warga Desa Penyang, Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, yang juga memiliki lahan di kawasan tersebut, meminta keadilan dari pemerintah dan aparat penegak hukum.

“Kami meminta keadilan. Selama ini masyarakat jadi korban perusahaan. Tempat kami menggantungkan hidup ditutup begitu saja,” ujarnya.

Rudianto mengungkapkan bahwa ia memiliki lahan seluas 304,23 hektare, namun baru sekitar 21 hektare yang diakui perusahaan. Sisanya masih belum jelas penyelesaiannya.

“Pihak perusahaan pernah menjanjikan ganti rugi sebesar Rp5 miliar, tapi sampai sekarang belum direalisasikan. Mereka hanya memberikan janji-janji,” ungkapnya.

Ia berharap pemerintah daerah maupun pusat dapat turun tangan menyelesaikan konflik ini secara adil dan berpihak pada masyarakat kecil.

“Tolong lihat kondisi kami di bawah, Pak. Kami sedang kesusahan dan merasa ditindas oleh perusahaan,” tutupnya.

Diketahui, lahan milik keluarga Rudianto berada di wilayah yang dulunya masuk dalam Desa Tanah Putih Darat sebelum pemekaran menjadi Kelurahan Pasir Putih pada 2008. (ri)