Perkara Serupa, Tuntutan Berbeda, Kuasa Hukum Teriakkan Ketidakadilan

|
<p>Anang (pegang tongkat) bersama kuasa hukumnya saat cek tanah beberapa waktu lalu. (Foto : Ist)</p>

Anang (pegang tongkat) bersama kuasa hukumnya saat cek tanah beberapa waktu lalu. (Foto : Ist)


TINTABORNEO.COM, Sampit – Di usia 60 tahun, Anang Janggai, seorang warga biasa yang diduga kini tengah menderita stroke ringan, harus menjalani hari-harinya di ruang persidangan Pengadilan Negeri (PN) Sampit sebagai terdakwa dalam kasus dugaan memakai surat palsu. Ironisnya, meski dalam kondisi sakit dan tidak lagi bisa berjalan normal, Anang menghadapi tuntutan hukuman hingga empat tahun penjara.

Anang bukanlah satu-satunya terdakwa dalam perkara pemalsuan surat yang diseret ke Pengadilan Negeri Sampit. Ada terdakwa lain dengan kasus yang berbeda atas nama Abdul Farmansyah alias Kocong (52) atas dugaan pemalsuan dokumen. Namun, yang menjadi sorotan bukan hanya pokok perkara, tetapi perbedaan mencolok dalam penerapan hukum pada kasus yang serupa.

Kuasa hukum Anang, Edward Saragih, menyebut bahwa kliennya mengalami ketidakadilan hukuman jika dibandingkan dengan kasus lain yang ditangani oleh kejaksaan negeri sampit, yakni perkara pemalsuan ijazah oleh Kepala Desa Baampah yang hanya dituntut 1 tahun 6 bulan penjara.

“Perkara dan pasal yang serupa, sama-sama pemalsuan surat. Tapi klien saya yang sudah tua dan sakit justru dituntut 4 tahun penjara karena diduga memakai surat palsu. Di mana letak keadilannya?” ujar Edward saat ditemui awak media, Minggu (6/7/2025).

Edward mengaku heran, bagaimana mungkin dua perkara yang serupa bisa dituntut dengan perbedaan tuntutan hukuman yang begitu jauh. Ia menduga ada kejanggalan atau bahkan indikasi intervensi di balik tuntutan tinggi terhadap Anang.

“Ada dugaan kuat ini pesanan. Dari informasi yang kami terima, ada nama-nama seperti Jemy Cs yang disebut-sebut punya kepentingan di balik perkara ini,” tegasnya.

Lebih lanjut, Edward menegaskan bahwa kliennya tidak pernah memiliki niat jahat dalam kepemilikan surat tanah tersebut. Selama bertahun-tahun, Anang percaya bahwa dokumen yang dimiliki dari orang tuanya adalah sah, seperti banyak masyarakat kecil lainnya yang tak memahami seluk-beluk surat administrasi pertanahan.

“Dia bukan mafia tanah. Dia bukan penipu. Dia korban dari rumitnya penyelesaian konflik agraria di Kalimantan Tengah. Bahkan, sejak awal Anang sudah beritikad baik untuk menyelesaikan persoalan ini secara hukum,” kata Edward.

Fakta bahwa Anang kini menjadi tulang punggung terakhir keluarganya, sekaligus satu-satunya yang bisa membantu ekonomi rumah tangga, ini semakin menambah beban moril. Kondisi kesehatannya kian menurun dan ia bahkan harus menjalani persidangan dalam keadaan lemah secara fisik.

“Bayangkan seseorang yang tak lagi bisa berjalan normal, harus duduk di kursi pesakitan menanti vonis berat yang tidak sebanding dengan kondisinya. Ini bukan lagi soal hukum, tapi soal kemanusiaan,” tambah Edward.

Kuasa hukum Anang berharap majelis hakim bisa memutuskan perkara ini secara adil, mempertimbangkan alasan kemanusiaan karena faktor kesehatan, usia, dan itikad baik terdakwa.

“Kalau hukum terus berat sebelah, rakyat kecil akan semakin takut dalam memperjuangkan hak atas tanahnya. Anang mungkin hanya satu nama, tapi di luar sana ada ratusan Anang lain yang juga sedang menggantungkan harapan pada keadilan,” pungkas Edward.

Kini, tinggal waktu yang akan menjawab. Anang Janggai duduk pasrah menanti palu keadilan diketuk. (li)