Pemkab Kotim Soroti Pemicu Utama Konflik Lahan

Asisten I Setda Kotim, Rihel.
TINTABORNEO.COM, Sampit – Kisruh pertanahan di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) kembali menjadi sorotan. Asisten I Sekretariat Daerah Kotim, Rihel, angkat bicara dan mengungkap akar masalah yang selama ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan.
Menurut Rihel, persoalan bermula dari lemahnya tata kelola administrasi di tingkat desa dan kecamatan. Ia menyebut sering kali terjadi perubahan dokumen setiap kali ada pergantian pejabat.
“Polanya yang saya lihat, ganti camat, ganti kades, bikin surat baru lagi. Akhirnya tumpang tindih jadi begitu banyak,” ungkap Rihel kepada awak media, Kamis (3/7/2025).
Ia juga menyoroti fenomena warga yang mengklaim tanah hanya bermodalkan kuitansi jual beli tanpa dokumen resmi.
“Banyak yang ngakunya beli tanah, tapi nggak ada surat. Bahkan terakhir ini hanya pakai kuitansi saja. Itu jadi masalah,” ujarnya.
Lebih parah lagi, banyak warga menjadikan Surat Keputusan (SK) Bupati sebagai bukti kepemilikan, padahal dokumen tersebut hanya untuk izin pembukaan lahan pertanian.
“Itu SK untuk membuka lahan, bukan menguasai tanah. Tapi sekarang dijadikan dasar untuk klaim. Padahal kalau dilihat diktumnya, tidak ada perintah untuk menguasai tanah,” jelas Rihel.
Rihel juga mengungkap adanya indikasi kuat pemalsuan surat keterangan tanah (SKT). Banyak surat yang seolah-olah dokumen lama, namun nyatanya baru dibuat belakangan.
“Kalau diuji laboratorium, banyak surat yang tahun pembuatannya baru. Tapi sengaja dibuat seolah-olah tua,” tegasnya.
Padahal, kata dia, prosedur pembuatan SKT sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, khususnya pada Pasal 7, 8, dan 39.
“Itu jelas, siapa yang menandatangani, siapa yang harus terlibat. Tapi di lapangan ada SKT yang hanya ditandatangani kepala dusun, tanpa camat. Itu tidak sah secara administratif,” paparnya.
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, Pemerintah Kabupaten akan mengedepankan mediasi serta verifikasi saksi dan dokumen. Dalam kasus tertentu, Rihel bahkan menyebut mekanisme adat bisa menjadi solusi terakhir.
“Kalau dulu di kampung, kami pakai sumpah potong rotan atau sumpah pocong. Kalau benar, dia berani sumpah. Tapi kalau bohong, ada konsekuensi adat,” ucapnya.
Ia menegaskan, sumpah adat bukan solusi utama, namun bisa menjadi langkah akhir saat tidak ada saksi maupun dokumen yang bisa dijadikan bukti.
Rihel juga mengungkap adanya indikasi keterlibatan oknum atau mafia tanah dalam persoalan ini. Ia menyebut, yang harus diburu bukan hanya orang yang menggunakan dokumen palsu, tapi pembuatnya.
“Yang penting dicari siapa pembuat surat palsunya. Itu yang harus dikejar, bukan cuma yang pakai,” pungkasnya. (ri)
