Pemkab Kotim Nyatakan Tak Penuhi Syarat Luas Lahan untuk Program Transmigrasi

Kepala Disnakertrans Kotim, Johny Tangkere saat diwawancarai, Selasa (22/7/2025). (Foto: Apri)
TINTABORNEO.COM, Sampit – Rencana menjadikan sejumlah wilayah di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) sebagai kawasan transmigrasi tampaknya belum dapat direalisasikan. Pemerintah daerah menyatakan tidak mampu memenuhi persyaratan administratif berupa penyediaan lahan minimal seluas 19.000 hektare.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kotim, Johny Tangkere, menyebut kondisi ketersediaan lahan menjadi kendala utama. Menurutnya, untuk memenuhi 5.000 hektare lahan saja sudah sulit dilakukan, apalagi hingga 19.000 hektare.
“Rasanya tidak ada lagi lahan untuk tamu. Syarat minimal administrasi itu 19.000 hektare. Kita sudah tidak ada. Mencari 5.000 hektare saja di Kotim susah, dan sebagian besar lahan yang ada sudah dijadikan cadangan pertanian,” kata Johny, Selasa (22/7/2025).
Ia menjelaskan, program transmigrasi saat ini sudah tidak seperti dulu. Bahkan di Kabupaten Lamandau, yang sebelumnya menjadi lokasi transmigrasi, hanya dihuni lima Kepala Keluarga (KK).
“Bukan seperti dulu yang ratusan KK. Sekarang hanya sedikit. Sekarang ini sudah terbuka, jadi orang dari Jawa atau dari mana pun tidak perlu disuruh. Kalau mereka melihat ada kehidupan yang layak di daerah kita, pasti akan datang sendiri,” ujarnya.
Johny mengungkapkan, sempat ada rencana menjadikan sejumlah kecamatan seperti Seranau, Pulau Hanaut, Bagendang Mentaya Baru Hilir, dan Mentaya Selatan sebagai kawasan transmigrasi. Namun, rencana itu kandas akibat keterbatasan lahan.
“Saat ini Kotim tidak ikut andil dalam program transmigrasi karena memang kita tidak memiliki lahan yang sesuai dengan persyaratan tersebut,” tambahnya.
Menanggapi kabar adanya empat kecamatan yang akan dijadikan kawasan transmigrasi, Johny menilai jika memang ada pembentukan kawasan transmigrasi, maka pemerintah pusat akan memberikan dukungan anggaran untuk pembangunan infrastruktur dasar, seperti jalan, kesehatan, dan pendidikan.
“Itu bisa menarik pembiayaan gotong royong dari pusat. Tapi kami akan koordinasikan dulu apakah ini benar-benar kawasan transmigrasi atau bukan. Karena ada aturan tersendiri untuk itu,” jelasnya.
Kendati demikian, ia menegaskan bahwa jika program transmigrasi tetap diwajibkan oleh pemerintah pusat, maka hal tersebut perlu dikomunikasikan lebih dulu dengan masyarakat.
“Rata-rata di Kotim masyarakat menolak. Lahan pun hampir tidak ada. Sekarang ini Kotim sudah terbuka, tidak seperti 20–30 tahun lalu yang masih hutan. Saat ini sudah banyak pendatang dari luar, bahkan puluhan ribu yang datang,” tegasnya.
Menurut Johny, seiring berkembangnya infrastruktur desa yang kini sudah tembus jalan, program transmigrasi secara perlahan semakin tidak relevan lagi di Kotim. (ri)