Minim Peminat, Sekolah Rakyat Masih Sulit Jaring Siswa di Bukit Santuai

<p>Pendamping PKH untuk wilayah Bukit Santuai, Andre (kanan) saat mendata anak (dua dari kiri) yang bersedia masuk Sekolah Rakyat jenjang SMA, Rabu (16/7/2025).<br />
(Foto : Ist)</p>
Pendamping PKH untuk wilayah Bukit Santuai, Andre (kanan) saat mendata anak (dua dari kiri) yang bersedia masuk Sekolah Rakyat jenjang SMA, Rabu (16/7/2025). (Foto : Ist)
Bagikan

TINTABORNEO.COM, Sampit – Program Sekolah Rakyat yang digagas pemerintah untuk anak-anak dari keluarga prasejahtera masih menghadapi tantangan besar di wilayah pedalaman, termasuk di Kecamatan Bukit Santuai, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Hingga Rabu (16/7/2025), hanya satu anak jenjang SMA yang terdata bersedia masuk, sementara untuk tingkat SD belum ada yang mendaftar dari wilayah tersebut.

Andre, pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) untuk wilayah Bukit Santuai mengungkapkan, minimnya peminat terutama terjadi di jenjang SD. Dari kuota yang tersedia, baru 13 anak dari seluruh kecamatan yang terdata bersedia masuk Sekolah Rakyat, itupun belum termasuk dari Bukit Santuai.

“Untuk jenjang SD di wilayah kami belum ada satu pun anak yang bersedia. Kemarin ada yang sempat tertarik, tapi sampai sekarang belum ada kabar lagi,” kata Andre, Rabu (16/7/2025).

Andre mengaku kesulitan membujuk anak yang dapat PKH untuk masuk sekolah rakyat. Di Kecamatan Bukit Santuai saja baru 1 anak SMA yang bersedia masuk Sekolah Rakyat. 

“Jenjang SMA baru 1 anak yang bersedia. Agak susah membujuk anak-anak yang dapat PKH itu untuk masuk ke Sekolah Rakyat, yang masuk SMA ini saja pakai SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) walau datanya masuk DTSEN tapi belum diperingkatkan desil- nya,” terang Andre. 

Ia menjelaskan, faktor utama yang membuat warga enggan mengikutsertakan anaknya adalah lokasi sekolah yang mengharuskan anak tinggal di asrama. 

“Jarang ada yang mau melepas anaknya yang masih kecil untuk tinggal di asrama. Apalagi akses di Bukit Santuai sulit, terutama di desa-desa seperti Lunuk Begantung. Sinyal juga susah, dan orangtua khawatir soal pembatasan kebebasan anak serta isu bullying,” jelasnya.

Meski telah melakukan berbagai pendekatan dan memberikan penjelasan bahwa orangtua bisa menjenguk setiap hari, keraguan tetap muncul dari para keluarga penerima manfaat PKH. Bahkan sebagian anak yang masuk kategori miskin ekstrem (desil 1 Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Nasional/DTSEN) lebih memilih sekolah reguler atau sudah terlanjur mendaftar ke sekolah lain.

“Padahal kami sudah jelaskan sebaik mungkin. Tapi masih banyak yang ragu apakah program ini benar-benar berjalan atau tidak ke depannya,” ujarnya.

Menurut Andre, situasi ini mengingatkannya pada awal peluncuran program PKH dahulu. “Waktu PKH dulu juga awalnya banyak yang tidak percaya dan menyepelekan. Tapi sekarang terbukti manfaatnya. Harapan kami, program Sekolah Rakyat ini juga bisa mendapat kepercayaan yang sama dari masyarakat,” tuturnya. 

Sementara itu, berdasarkan data Dinas Sosial Kotim per Rabu (16/7), dari masing-masing 50 kuota baik untuk SD maupun SMA, telah terjaring sebanyak 56 anak calon peserta didik untuk jenjang SMA dan 13 anak untuk jenjang SD. Untuk SMA, jumlah tersebut bahkan sudah melebihi kuota yang ditetapkan, sedangkan untuk SD masih jauh dari target minimal yang diharapkan. Target minimalnya ada 25 anak. 

Sekolah Rakyat sendiri ditujukan untuk menampung anak-anak dari keluarga kurang mampu dengan memberikan akses pendidikan dan kebutuhan dasar secara gratis, termasuk asrama, makanan, dan perlengkapan sekolah. Namun program ini masih butuh kerja keras dalam hal sosialisasi dan pendampingan agar bisa diterima sepenuhnya oleh masyarakat, khususnya di wilayah pedalaman seperti Bukit Santuai. (dk)