Legislator Dapil V DPRD Kotim Soroti Ketimpangan Infrastruktur di Daerah Penghasil Sawit

|
<p>Anggota DPRD Kotim perwakilan Dapil V Abdul Sahid, Andi Lala dan Seto Hadi.</p>

Anggota DPRD Kotim perwakilan Dapil V Abdul Sahid, Andi Lala dan Seto Hadi.


TINTABORNEO.COM, Sampit – Tiga anggota DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dari Daerah Pemilihan (Dapil) V menyoroti ketimpangan pembangunan infrastruktur di daerah penghasil sawit, khususnya akses jalan antara Desa Bejarau dan Kelurahan Parenggean, Kecamatan Parenggean. Mereka menilai wilayah yang menjadi lumbung pendapatan daerah justru luput dari perhatian pemerintah.

Anggota DPRD Kotim, Abdul Sahid, Andi Lala, dan Seto Hadi mendesak pemerintah daerah agar segera mengalokasikan perbaikan jalan tersebut melalui sisa Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit yang nilainya mencapai Rp4 miliar. Ketiganya menegaskan bahwa kehadiran jalan layak merupakan hak masyarakat, terlebih kawasan tersebut merupakan pusat aktivitas ekonomi dan permukiman padat.

“Jalan dari Parenggean ke Bejarau itu bukan jalan sembarangan. Itu urat nadi warga menuju Rumah Sakit Pratama Parenggean. Sudah banyak korban jiwa karena kondisi jalan yang rusak parah. Ini bukan sekadar proyek fisik, tapi menyangkut nyawa,” tegas Abdul Sahid, Kamis (3/7/2025). 

Ia menyebutkan, jalur tersebut tidak hanya dilalui masyarakat umum, tetapi juga dikelilingi oleh perkebunan sawit aktif yang seharusnya memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan wilayah sekitar.

Senada dengan itu, Andi Lala menyatakan bahwa janji perbaikan jalan tersebut telah lama disampaikan pemerintah daerah, namun hingga kini belum terealisasi. Menurutnya, semestinya wilayah yang menyumbang pemasukan daerah mendapatkan prioritas pembangunan.

“Kami sudah berkali-kali mengingatkan. Jalur itu penuh dengan rumah penduduk dan jadi akses vital menuju layanan kesehatan. Bahkan dulu sudah pernah disiapkan Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp1,5 miliar, tapi gagal dicairkan karena efisiensi pusat. Sekarang kami dorong minimal pengerasan dulu tahun ini,” ujarnya.

Ia mengusulkan, jika belum memungkinkan untuk pengaspalan, maka pengerasan jalan dengan anggaran antara Rp500 juta hingga Rp750 juta bisa dilakukan sebagai tahap awal, sebelum diusulkan kembali dalam APBD tahun berikutnya.

Sementara itu, Seto Hadi menyoroti ketimpangan antara kontribusi daerah terhadap pendapatan daerah dan perhatian pembangunan yang diterima.

“Parenggean ini penyumbang pendapatan besar dari sektor sawit. Tapi jalannya? Jangankan diaspal, dikeraskan pun belum. Ini tidak adil. Jalan provinsi saja yang bukan kewajiban kabupaten bisa mulus, masa jalan kabupaten dibiarkan rusak?” ujarnya dengan nada kecewa.

Sebagai langkah antisipatif, ketiganya sepakat akan mendatangi perusahaan-perusahaan besar di wilayah tersebut untuk meminta bantuan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), apabila usulan mereka tidak ditindaklanjuti dalam APBD perubahan tahun ini.

“Kami tidak akan tinggal diam. Kalau anggaran tidak turun, kami akan langsung ke perusahaan sawit yang beroperasi di sekitar jalan itu. Mereka harus peduli dan ikut bangun infrastruktur karena aktivitas mereka juga yang memperparah kondisi jalan,” tegas mereka.

Ketiganya berharap pemerintah daerah lebih peka terhadap kebutuhan mendasar masyarakat, terutama di daerah yang selama ini telah memberi kontribusi besar bagi kas daerah. Mereka menegaskan bahwa keadilan pembangunan harus dirasakan secara merata, bukan hanya di wilayah perkotaan. (ri)