Konflik Lahan Sawit Harus Diselesaikan Berdasarkan UUPA, Bukan Sektoral

|
<p>Praktisi Hukum, Muhammad Sofyan saat diwawancarai. (Foto: Apri) </p>

Praktisi Hukum, Muhammad Sofyan saat diwawancarai. (Foto: Apri) 


TINTABORNEO.COM, Sampit – Praktisi Hukum, Muhammad Sofyan menegaskan bahwa penyelesaian konflik lahan sawit di Kalimantan Tengah, terutama yang diklaim masuk kawasan hutan, tidak boleh hanya mengacu pada kebijakan sektoral kehutanan. 

Menurutnya, dasar penyelesaian harus kembali kepada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 sebagai hukum induk pertanahan nasional.

“UUPA adalah landasan utama yang mengatur hak atas tanah di Indonesia. Segala kebijakan sektoral, termasuk kehutanan, harus tunduk dan tidak boleh melampaui UUPA,” kata Sofyan, Selasa (15/7/2025).

Ia menyayangkan pendekatan penyelesaian yang lebih menitikberatkan pada penunjukan administratif kawasan hutan tanpa memperhatikan sejarah penguasaan dan penggunaan lahan oleh masyarakat. Hal itu, kata dia, berisiko menimbulkan ketidakadilan dan memperparah konflik agraria.

“Kalau penyitaan dilakukan hanya berdasarkan peta kawasan hutan, tanpa peninjauan di lapangan dan verifikasi riwayat penguasaan, maka itu sudah menyalahi asas keadilan. Apalagi jika tanah sudah dikelola secara turun-temurun atau bahkan bersertifikat,” ujar Sofyan.

Ia mengingatkan, UUPA memberikan perlindungan bagi masyarakat yang menguasai lahan secara sah dan beritikad baik. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 ditegaskan bahwa hak atas tanah tidak bisa dibatalkan secara sepihak jika sudah dikuasai lebih dari lima tahun tanpa gugatan.

“Negara tidak boleh mengabaikan hak-hak rakyat hanya karena konflik tumpang tindih kebijakan. Justru negara wajib hadir dengan solusi yang berpihak pada rakyat, bukan hanya kepentingan administratif atau sektor tertentu,” tambahnya.

Sofyan juga menilai kebijakan tata guna hutan sejak era Orde Baru, seperti TGHK, telah menyisakan banyak persoalan hukum dan sosial. Ia mencontohkan bagaimana penetapan kawasan hutan sering kali tidak disertai pengukuhan lengkap, termasuk pengumuman kepada publik dan pengakuan hak pihak ketiga.

“Penetapan kawasan hutan tidak boleh berhenti di atas kertas. Harus ada proses tata batas, pemetaan, dan uji lapangan yang melibatkan masyarakat. Itulah semangat UUPA, menyatukan seluruh kebijakan tanah dalam satu sistem yang berkeadilan,” ungkapnya.

Menurut Sofyan, banyak lahan masyarakat kini terancam hanya karena masuk dalam klaim kawasan hutan. Padahal, sebagian besar lahan tersebut telah dikelola secara sah untuk pertanian, permukiman, bahkan sudah bersertifikat.

“Kita bukan menolak pelestarian hutan, tapi semua harus berjalan dalam koridor hukum yang adil. UUPA tidak boleh dikalahkan oleh peraturan sektoral yang justru tidak menyentuh akar kepemilikan tanah rakyat,” tegasnya. 

Ia berharap pemerintah pusat maupun daerah dapat meninjau ulang pendekatan yang digunakan dalam penyelesaian konflik lahan, serta mendorong harmonisasi antara kebijakan kehutanan dengan sistem pertanahan nasional.

“Kalau kita ingin penyelesaian yang damai dan adil, maka UUPA harus menjadi acuan utama. Itu satu-satunya jalan agar rakyat terlindungi dan negara tidak menjadi pelaku ketidakadilan struktural,” pungkasnya. (ri)