Komisi III Desak Perusahaan Tambang Bayar Sendiri BPJS Karyawan

Wakil Ketua Komisi III DPRD Kotim, Riskon Fabiansyah. (Foto: Apri)
TINTABORNEO.COM, Sampit – Komisi III DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menyoroti lemahnya tanggung jawab sebagian perusahaan tambang dalam memberikan perlindungan tenaga kerja, khususnya terkait fasilitas Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) serta jaminan kesehatan karyawan.
Temuan ini mencuat saat anggota Komisi III melakukan kunjungan lapangan ke sejumlah perusahaan besar swasta (PBS), termasuk PT Sanmas di Kecamatan Cempaga Hulu.
“Ironis sekali, perusahaan-perusahaan ini mengeruk sumber daya alam kita, tapi BPJS Kesehatan karyawannya justru dibebankan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI),” tegas Wakil Ketua Komisi III DPRD Kotim, Riskon Fabiansyah, Selasa (15/7/2025).
Riskon menyebut, sebagian besar perusahaan tambang di Kotim tidak menyiapkan fasilitas kesehatan sendiri. Bahkan, mereka cenderung mengandalkan puskesmas milik pemerintah daerah untuk memenuhi aspek K3.
“Ini tidak hanya menyalahi etika, tapi juga keliru secara regulasi ketenagakerjaan,” katanya.
Ia menambahkan, Pemkab Kotim saat ini mengalokasikan lebih dari Rp46 miliar untuk membayar iuran BPJS PBI, bahkan masih memiliki tunggakan sebesar Rp7 miliar. Ia khawatir sebagian dana tersebut digunakan untuk menanggung karyawan perusahaan yang semestinya menjadi tanggung jawab perusahaan, bukan pemerintah.
Senada dengan itu, Anggota Komisi III DPRD Kotim, SP Lumban Gaol, menyoroti kondisi serupa di PT Sanmas. Ia menyatakan, perusahaan tersebut tidak memiliki fasilitas K3 dan justru membiarkan karyawan terdaftar sebagai peserta BPJS PBI.
“Yang membuat kami miris, perusahaan sudah mendapatkan keuntungan dari hasil alam Kotim, tapi justru membebani pemerintah daerah. Ini tidak adil. Seharusnya masyarakat tidak mampu yang mendapatkan prioritas jaminan kesehatan dari pemerintah, bukan karyawan perusahaan besar,” ungkapnya.
Menurut Gaol, praktik ini sudah berlangsung lama, sejak awal penerimaan karyawan, tanpa ada upaya peralihan tanggung jawab ke BPJS perusahaan. Ia menduga praktik ini menjadi salah satu penyebab membengkaknya anggaran BPJS PBI di Kotim.
Komisi III pun mendesak agar seluruh perusahaan tambang segera memindahkan kepesertaan BPJS karyawan ke skema Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Perusahaan, atau biasa disebut BPJS PPU (Pekerja Penerima Upah).
“Alasan bahwa karyawan tidak ingin dipindahkan karena takut kehilangan jaminan jika keluar dari perusahaan itu tidak bisa dibenarkan. Perusahaan wajib menanggung iuran selama masa kerja karyawan. Jika perlu, dana yang telah terlanjur dibayarkan dari APBD untuk karyawan PBS itu ditarik kembali sebagai pendapatan daerah,” tegas Riskon.
Ia menilai, praktik pembiaran ini merupakan bentuk kenyamanan berlebihan yang diberikan kepada investor, sehingga perusahaan enggan memberi kontribusi signifikan bagi daerah.
“Ini harus segera dibenahi agar tidak terus merugikan masyarakat dan anggaran daerah,” pungkasnya. (ri)