Pemkab Kotim Tanggapi Serius Data Kemiskinan, Fokus pada Bantuan dan Data Mikro

TINTABORNEO.COM, Sampit – Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) merespons serius data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) setempat terkait jumlah keluarga miskin di Kotim. Berdasarkan data tersebut, tercatat sebanyak 660 keluarga di Kotim masih berada di bawah garis kemiskinan karena memiliki pengeluaran di bawah Rp572 ribu per kapita per bulan.
Menanggapi hal ini, Bupati Kotim, Halikinnor akan berencana menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp1 juta per keluarga kepada 660 keluarga tersebut, yang dananya akan dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kotim.
“Kalau memang data ini benar, kita akan bantu mereka melalui BLT sebesar Rp1 juta per keluarga. Selain itu, kami juga akan salurkan bantuan sembako melalui program Raskinda (Beras Miskin Daerah),” tegas Halikinnor saat menggelar rapat penyempurnaan RPJMD, di Rujab Bupati Kotim, Senin (23/6/2025).
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa dirinya tidak ingin ada lagi masyarakat Kotim yang tergolong miskin.“Saya ingin kemiskinan di Kotim itu hanya satu persen. Bahkan kalau bisa, tidak ada lagi warga kita yang disebut miskin,” ucapnya.
Selain bantuan tunai dan sembako, pemerintah daerah juga akan mempertimbangkan intervensi lainnya, seperti bantuan modal usaha. Namun demikian, Bupati menekankan pentingnya identifikasi data mikro untuk memastikan efektivitas penyaluran bantuan.
Menanggapi rencana pemerintah daerah, Kepala BPS Kotim, Eddy Surahman menjelaskan bahwa data 660 keluarga tersebut merupakan hasil sampling yang ditentukan oleh BPS Pusat, berdasarkan survei yang dilakukan per rumah tangga.
Ia menjelaskan bahwa data tersebut tidak dapat diberikan secara langsung kepada pemerintah daerah karena bersifat rahasia sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang statistik.
“Data rumah tangga ini tidak bisa dibagikan untuk kepentingan luar BPS, sesuai amanat Undang-Undang. Pemerintah daerah bisa menggunakan data mikro dari survei atau pendataan mereka sendiri untuk penanganan kemiskinan,” kata Eddy.
Eddy juga menjelaskan bahwa penurunan angka kemiskinan di Kotim tergolong lambat. Berdasarkan data BPS, penurunan dari tahun 2023 ke 2024 hanya sebesar 0,03 persen. Ia menyebutkan bahwa untuk mengukur kemiskinan tidak cukup hanya melihat jumlah penduduk miskin, tapi juga perlu melihat Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2).
“P1 di Kotim hanya 0,09 persen, menandakan jarak pengeluaran penduduk miskin cukup jauh dari garis kemiskinan. P2 juga rendah, sekitar 2,16 persen, sehingga pengurangannya memang berjalan lambat tiap tahun,” ungkap Eddy.
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah penduduk miskin sedikit, namun mereka tergolong sangat miskin dan memerlukan intervensi yang lebih dalam dan tepat sasaran. (ri)