Dewan Tegaskan Penahanan Ijazah Tak Dibenarkan, Ajak Masyarakat Aktif Melapor

|
<p>Anggota Komisi III DPRD Kotim, Riskon Fabiansyah. </p>

Anggota Komisi III DPRD Kotim, Riskon Fabiansyah. 


TINTABORNEO.COM, Sampit – Anggota Komisi III DPRD Kotawaringin Timur (Kotim), Riskon Fabiansyah, menegaskan bahwa praktik penahanan ijazah oleh pihak sekolah, terutama karena alasan tunggakan biaya, tidak dapat dibenarkan secara hukum maupun etika pelayanan publik. DPRD Kotim, ujarnya, siap memfasilitasi penyelesaian apabila terdapat laporan dari masyarakat.

“Jika ada masyarakat yang merasa ijazahnya atau ijazah anaknya ditahan oleh sekolah, silakan lapor. Insya Allah kami siap memfasilitasi penyelesaiannya,” ujar Riskon, Minggu (22/6/2025). 

Ia menegaskan bahwa arahan Gubernur Kalimantan Tengah sudah sangat jelas yakni tidak boleh ada lagi sekolah, baik negeri maupun swasta, yang menahan ijazah siswa dengan alasan apa pun.

Meski hingga kini belum ada laporan resmi terkait penahanan ijazah pada jenjang TK hingga SMP di Kotim, DPRD tetap melakukan pemantauan berkala melalui rapat kerja dengan Dinas Pendidikan, termasuk membahas isu lain seperti pungutan liar dan hambatan administratif di dunia pendidikan.

Riskon menjelaskan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pemerintah kabupaten terbatas pada pendidikan tingkat TK hingga SMP. Untuk jenjang SMA sederajat, kewenangan berada di bawah Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah. Meski demikian, pihaknya tidak menutup mata terhadap kasus yang terjadi di luar kewenangan formal.

“Kami pernah menangani kasus penahanan ijazah di tingkat SMA. Waktu itu ada orang tua siswa yang datang mengadu. Kami bantu mediasi dan alhamdulillah ijazah bisa diserahkan oleh pihak sekolah,” ungkapnya.

Dari sisi kebijakan anggaran, Riskon menyebut Pemkab Kotim telah mengalokasikan dana pendidikan minimal 20 persen dari total APBD sesuai amanat undang-undang. Namun, implementasi program pendidikan belum berjalan optimal, terutama karena cakupan wilayah Kotim yang luas dan masih adanya keterbatasan infrastruktur pendidikan di daerah terpencil.

Untuk itu, ia mendorong keterlibatan dunia usaha melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) untuk membantu mengatasi keterbatasan tersebut.

“Partisipasi pihak ketiga sangat dibutuhkan, khususnya dalam pembangunan sarana pendidikan di wilayah pelosok. Ini bagian dari tanggung jawab bersama untuk mewujudkan pemerataan akses pendidikan,” jelasnya.

Riskon berharap seluruh pemangku kepentingan di sektor pendidikan baik pemerintah, sekolah, masyarakat, maupun dunia usaha dapat bersinergi menciptakan sistem pendidikan yang adil, inklusif, dan manusiawi.

“Kami ingin sistem pendidikan di Kotim bebas dari hambatan administratif yang merugikan siswa. Ijazah adalah hak siswa, bukan alat tekanan,” pungkasnya. (ri)