Darurat Sampah, Pengelola Pasar PPM Sampit Diminta Bertanggung Jawab atas Sampah

TINTABORNEO.COM, Sampit – Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Marjuki, meminta pengelola pasar, khususnya Pusat Perbelanjaan Mentaya (PPM) Sampit, untuk segera menyiapkan sistem pengelolaan sampah secara mandiri.
Hal tersebut disampaikan Marjuki usai meninjau langsung kondisi lingkungan di area PPM dalam rangka kegiatan kerja bakti memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Kamis (5/6/2025).
“Saya ingin memastikan ke depan pengelola pasar bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan. Masalah sampah ini bukan hanya urusan DLH, tapi tanggung jawab semua pihak,” tegas Marjuki.
Ia menilai selama ini banyak pihak masih beranggapan bahwa urusan kebersihan adalah tanggung jawab pemerintah semata. Padahal, kata dia, pengelola kegiatan dan pelaku usaha, seperti yang ada di pasar PPM, juga harus ikut bertanggung jawab.
“Tidak boleh lagi terjadi situasi di mana DLH yang datang dan bersih-bersih, sementara pihak pasar cuek. Kami akan siapkan regulasi yang mengatur tanggung jawab pengelolaan sampah, khususnya di area pasar,” tambahnya.
Marjuki juga menyampaikan bahwa pihaknya akan segera menggelar rapat koordinasi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD), termasuk dengan Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kotim, untuk merancang langkah-langkah konkret pengelolaan sampah pasar.
“Mungkin minggu depan kita jadwalkan pertemuan antar dinas untuk membahas hal ini secara serius. Kami ingin ada manajemen yang jelas dalam penanganan sampah di pasar,” ujarnya.
Terkait banyaknya tumpukan sampah di depan toko-toko PPM, DLH juga tengah menyiapkan aturan yang memungkinkan pemberian sanksi kepada pelaku usaha atau perorangan yang lalai dalam menjaga kebersihan lingkungan.
“Saat ini kami sedang menginventarisasi masalah yang ada dan akan menegaskan bahwa pengelolaan sampah adalah tanggung jawab bersama. Ini merupakan komitmen kami, dan kita harus mulai dari sekarang,” tutup Marjuki.
Sementara itu Wakil Bupati pada peringatan hari lingkungan hidup sedunia menegaskan bahwa Indonesia, termasuk Kabupaten Kotim, saat ini sedang berada dalam situasi darurat sampah, terutama sampah plastik.
“Kondisi bumi terus menurun akibat aktivitas manusia yang mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Produksi plastik meningkat tajam dan sebagian besar tidak dikelola dengan baik, sehingga mencemari ekosistem darat dan laut,” ujar Irawati.
Ia mengutip data United Nations Environment Programme (UNEP) yang menunjukkan bahwa pada tahun 2023 produksi plastik global telah mencapai lebih dari 400 juta ton. Dari jumlah tersebut, hanya kurang dari 10 persen yang berhasil didaur ulang, sedangkan sisanya mencemari lingkungan.
Tak hanya menjadi ancaman ekologis, pencemaran plastik juga berdampak besar pada aspek sosial dan ekonomi. Irawati menjelaskan bahwa plastik di laut menyebabkan kerusakan ekosistem, membahayakan keselamatan nelayan, menurunkan jumlah tangkapan ikan, dan mengancam destinasi wisata bahari.
“Laporan terbaru menunjukkan bahwa jika tidak ada tindakan nyata, maka pada 2050 jumlah plastik di lautan bisa melebihi jumlah ikan. Ini jelas alarm bahaya bagi keberlangsungan lingkungan dan perekonomian masyarakat pesisir,” lanjutnya.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2024, masih terdapat 22,17 juta ton sampah yang terbuang ke lingkungan. Sampah plastik mendominasi dengan 10,8 juta ton per tahun, dan dari jumlah itu sekitar 6,6 juta ton tidak terkelola dengan baik.
“Kita sudah masuk fase darurat sampah. Bila pengelolaan masih seperti biasa, maka pada 2028 seluruh tempat pembuangan akhir (TPA) tidak akan mampu menampung timbunan sampah. Perlu langkah luar biasa, baik di hulu maupun di hilir,” tegas Irawati.
Ia menambahkan, solusi mengatasi polusi plastik tidak bisa hanya bergantung pada sistem pengelolaan di akhir. Pemerintah mendorong produsen dan pelaku industri untuk menerapkan prinsip produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab, serta mendesain ulang produk agar mudah digunakan ulang dan didaur ulang.
“Jika bak sudah penuh dan air tetap mengalir, solusinya bukan memperbesar bak, tapi menutup krannya. Ini adalah perumpamaan dari pendekatan hulu, yaitu dengan membatasi produksi dan penggunaan plastik sekali pakai sejak awal,” ujarnya.
Irawati menutup pidatonya dengan ajakan agar seluruh lapisan masyarakat dan sektor usaha bahu-membahu mengakhiri polusi plastik demi keberlanjutan lingkungan hidup. Ia menyebut, langkah-langkah yang dilakukan Indonesia juga menjadi bagian dari kontribusi global menuju kesepakatan internasional dalam perundingan penghentian polusi plastik yang akan digelar di Jenewa, Swiss, pada Agustus mendatang. (ri)