Sapi Luar Serbu Kotim, Peternak Lokal Kehilangan Pasar Jelang Iduladha

<p>Salah satu peternak sapi lokal di Kabupaten Kotim. </p>
Salah satu peternak sapi lokal di Kabupaten Kotim.
Bagikan

TINTABORNEO.COM, SAMPIT – Menjelang Hari Raya Iduladha, peternak sapi lokal di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) mengeluhkan merosotnya penjualan hewan kurban. Penurunan ini dinilai signifikan dan mengkhawatirkan keberlangsungan usaha peternakan di daerah tersebut.

Supriyadi, seorang peternak asal Sampit, mengungkapkan bahwa tahun ini dirinya hanya berhasil menjual tiga ekor sapi. Angka tersebut turun drastis dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 15 ekor.

“Kalau melihat tren dari tahun ke tahun, penjualan hewan kurban memang terus menurun. Salah satu penyebabnya adalah membanjirnya sapi dari luar daerah yang masuk ke Kotim,” ujarnya, Selasa (27/5/2025).

Ia menyebutkan bahwa kondisi ini tidak hanya dialami secara pribadi, melainkan juga dirasakan oleh banyak peternak lokal lainnya. Konsumen dinilai lebih memilih sapi dari luar daerah, yang kerap dianggap lebih menarik dari segi fisik.

“Padahal dari sisi kesehatan, sapi lokal sebenarnya lebih kuat dan harganya juga relatif terjangkau,” jelas Supriyadi.

Menurutnya, masuknya sapi luar daerah tanpa pengawasan ketat menjadi faktor utama penurunan minat terhadap sapi lokal. Ia mengusulkan agar pemerintah daerah membuat regulasi yang lebih tegas terkait distribusi hewan kurban dari luar wilayah.

“Pemerintah harus melakukan pengawasan ketat. Misalnya, mewajibkan setiap sapi dari luar daerah didaftarkan secara lengkap, mulai dari penerima, lokasi kandang, hingga tujuan distribusi. Dengan begitu, pergerakan sapi dapat dipantau,” tegasnya.

Supriyadi juga mengkhawatirkan risiko kesehatan dari sapi-sapi luar, meskipun telah melalui proses pemeriksaan. Ia menyebut beberapa sapi dari luar masuk dalam kondisi stres dan bahkan berpotensi membawa penyakit, seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

“Tidak mungkin semua sapi diperiksa satu per satu secara mendalam. Ini sangat berisiko bagi peternakan lokal,” katanya.

Lebih lanjut, Supriyadi menyoroti minimnya perhatian dari pemerintah daerah terhadap peternak lokal. Hingga kini, ia mengaku belum pernah mendapatkan bantuan pelatihan, pendampingan, maupun akses permodalan.

“Selama ini bantuan hanya sebatas pemeriksaan kesehatan. Padahal kami juga butuh pelatihan dan dukungan modal usaha,” ungkapnya.

Akibat rendahnya penjualan tahun ini, Supriyadi memutuskan untuk menahan sapi yang tidak terjual dan berharap dapat memasarkannya pada momentum berikutnya. Ia berharap pemerintah daerah segera bertindak untuk melindungi eksistensi peternak lokal.

“Kalau situasi ini terus dibiarkan, peternak lokal bisa-bisa gulung tikar. Kami harap ada solusi konkret,” pungkasnya. (ri)