Museum Kayu Sampit, Cermin Sejarah, Kejayaan Hutan dan Budaya Lokal

Salah satu peninggalan sejarah di Kabupaten Kotim yang ada di Museum Kayu Sampit.
TINTABORNEO.COM, Sampit – Berdiri kokoh di tengah Kota Sampit, Museum Kayu menjadi simbol kejayaan masa lalu Kalimantan Tengah, khususnya Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), dalam pengelolaan sumber daya alam.
Bukan sekadar bangunan, Museum Kayu Sampit adalah tempat bersejarah yang mencerminkan kekayaan alam dan budaya lokal yang dulu begitu berjaya.
Diresmikan pada 6 Oktober 2004 oleh Bupati Kotim, Wahyudi K. Anwar, Museum Kayu kini menjadi pusat edukasi dan pelestarian budaya di Bumi Habaring Hurung. Dengan luas bangunan 1.500 meter persegi di atas lahan 5.310 meter persegi, museum ini menampung beragam koleksi yang memperkenalkan pengunjung pada era keemasan industri kayu dan warisan budaya masyarakat setempat.
Nama “Museum Kayu” bukan sekadar label. Kayu memang menjadi inti dari semua yang ditampilkan. Dari kayu ulin, meranti, hingga hasil hutan non-kayu seperti rotan, damar, dan jelutung semuanya disusun dalam etalase sejarah yang hidup. Di ruang utama, berbagai alat pengolahan kayu ditampilkan, mulai dari mesin besar seperti bandsaw, moulder, hingga peralatan tradisional seperti wantilan dan kuda penarik kayu.
Salah satu koleksi unik adalah Loko, lokomotif kecil peninggalan PT Inhutani III yang dahulu digunakan untuk mengangkut gelondongan kayu. Miniatur Teluk Sampit, ilustrasi pembibitan dan penebangan pohon, serta artefak rumah tangga berbahan dasar kayu dan rotan memperkaya cerita tentang kearifan lokal dan industri yang pernah menyokong ekonomi Kotim.
Museum ini juga menyimpan benda-benda bersejarah dari masa perjuangan, seperti relief perlawanan rakyat Samuda, pedang Jepang, gong adat, hingga bendera merah putih pertama yang dikibarkan di Samuda pada 1945. Koleksi foto-foto Pasar Sampit dari dekade 1970-an hingga 2000-an turut memperlihatkan perubahan wajah sosial dan ekonomi daerah.
Di lantai dua, pengunjung bisa melihat langsung tulang belulang ikan paus biru sepanjang 25 meter, peninggalan yang mengejutkan dari tahun 2004, ketika seekor paus ditemukan terdampar di Pantai Ujung Pandaran. Tulangnya kini menjadi salah satu koleksi paling ikonik museum ini.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kotim, Bima Eka Wardhana, menjelaskan bahwa pihaknya terus berupaya menjaga eksistensi museum. Salah satunya dengan memperkuat pengelolaan lewat penyiapan SDM yang kompeten serta menjadikan museum sebagai UPTD.
“SDM yang mengelola harus memahami koleksi dan bisa menyampaikan cerita di balik benda-benda yang ada. Ini penting untuk edukasi,” ujar Bima, Kamis (1/5/2025).
Disbudpar juga aktif menggelar kegiatan budaya dan seni di halaman museum, serta melibatkan pelajar dan pelaku UMKM agar daya tarik museum semakin kuat. Ruang publik ini terbuka gratis bagi siapa saja yang ingin mengenal lebih jauh sejarah Kotim.
Namun, usia bangunan yang cukup tua menjadi tantangan tersendiri. Sejumlah bagian museum memerlukan renovasi, dari atap yang bocor hingga lantai yang mulai rusak.
“Kami berharap ada perhatian dari pemerintah daerah agar museum bisa lebih layak dan nyaman untuk dikunjungi,” pungkasnya. (ri)