Museum Kayu Jadi Sarana Edukasi Budaya bagi Pelajar di Kotim

Kunjungan anak-anak pelajar ke Museum Kayu Sampit dalam rangka mengenal sejarah dan budaya lokal.
TINTABORNEO.COM, Sampit – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kotawaringin Timur (Kotim) terus berupaya menjaga semangat pelestarian budaya daerah. Salah satu langkah nyata yang dilakukan adalah mendorong edukasi kebudayaan melalui kunjungan pelajar ke Museum Kayu Sampit.
Kepala Disbudpar Kotim, Bima Ekawardhana mengatakan program edukasi ini menjadi bagian dari upaya memperkenalkan sejarah dan budaya lokal kepada generasi muda.
“Anak-anak sekolah kita edukasi lewat Museum Kayu. Sekolah mengirimkan siswanya untuk mengenal budaya lokal, sejarah, serta kekayaan seni yang dimiliki Kotim,” ujarnya, Jumat (02/05/2025).
Menurut Bima, kegiatan ini mendapat sambutan positif dari pihak sekolah. Selain menjadi sarana belajar di luar kelas, kunjungan ke museum juga memperkuat wawasan kebangsaan dan identitas daerah bagi para pelajar.
Tempat ini juga menyuguhkan ragam koleksi yang memperkenalkan pengunjung pada masa keemasan industri perkayuan dan budaya lokal. Sebagaimana namanya, Museum Kayu mengedepankan unsur kayu sebagai tema utama.
Mulai dari jenis kayu seperti ulin dan meranti, hingga hasil hutan lainnya seperti rotan, damar, dan jelutung, dipamerkan dalam etalase edukatif yang penuh nilai sejarah.
Di area utama museum, terdapat berbagai peralatan pengolahan kayu, baik modern seperti bandsaw dan moulder, maupun alat tradisional seperti wantilan dan kereta penarik gelondongan kayu yang pernah digunakan masyarakat lokal.
Salah satu benda paling menarik perhatian adalah Loko, lokomotif kecil bekas PT Inhutani III yang dulu difungsikan untuk mengangkut kayu dari hutan.
Tak hanya itu, pengunjung juga bisa melihat miniatur Teluk Sampit, gambaran proses pembibitan hingga penebangan pohon, serta benda-benda rumah tangga yang seluruhnya terbuat dari material lokal seperti kayu dan rotan, menunjukkan kedekatan warga Kotim dengan alamnya.
Nilai historis museum ini juga terlihat dari koleksi perjuangan rakyat, seperti relief perlawanan warga Samuda, pedang peninggalan tentara Jepang, gong tradisional, serta bendera merah putih pertama yang dikibarkan di Samuda tahun 1945. Foto-foto lama Pasar Sampit dari dekade 1970-an hingga awal 2000-an turut menjadi saksi perubahan zaman.
Untuk menambah daya tarik, Disbudpar juga rutin menyelenggarakan berbagai kegiatan seni dan budaya di area museum, melibatkan pelajar dan pelaku UMKM agar museum menjadi ruang interaksi yang aktif dan terbuka untuk publik.
“Akses ke museum ini pun gratis, menjadi sarana pembelajaran sejarah dan budaya yang mudah dijangkau masyarakat,” pungkasnya. (ri)