Diduga Ada Oknum BPN Terlibat Mafia Tanah, Sertifikat Ganda Rugikan Warga

TINTABORNEO.COM, Sampit – Dugaan praktik mafia tanah kembali mencuat di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah. Kasus ini menyeret nama Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat setelah diketahui menerbitkan puluhan sertifikat hak milik (SHM) di atas tanah yang telah bersertifikat sah atas nama klien Nio Hermanto.
Kuasa hukum Nio Hermanto, Edward Saragih, bersama tim dari Kantor Hukum Edward Saragih & Associates, menyebut ada 44 sertifikat baru yang dikeluarkan BPN tanpa dasar yang jelas dan tanpa melakukan verifikasi kepemilikan tanah yang sah. Ironisnya, sebagian besar dari tanah tersebut kini telah dipadati bangunan rumah.
“Ini jelas-jelas praktik mafia tanah. Klien kami memiliki dua SHM sah, yakni SHM No. 3279 dengan luas 9.973 m² dan SHM No. 3285 seluas 18.239 m², yang terbit masing-masing tahun 1993 dan 1994. Tapi tiba-tiba saja di atas lahan tersebut muncul sertifikat-sertifikat baru yang diterbitkan BPN, seolah-olah tidak ada riwayat kepemilikan sebelumnya,” ujar Edward dalam keterangannya, Minggu (10/5/2025).
Ironisnya, ujar Edward, BPN berdalih bahwa tanah tersebut terbengkalai karena tidak dirawat. Padahal, di atas lahan itu terdapat kandang ayam yang aktif sebagai bukti bahwa tanah tersebut tidak ditelantarkan.
Lebih lanjut, Edward mengungkapkan, dalam proses penerbitan sertifikat baru itu, tidak dilakukan pengukuran ulang oleh pihak BPN.
“Alasan mereka tanah terbengkalai sangat tidak berdasar. Bahkan lucunya, BPN meminta kami untuk mencari sendiri siapa yang menerbitkan sertifikat-sertifikat baru ini, ibarat mencari jarum dalam jerami,” tegas Edward.
Penerbitan sertifikat baru terjadi pada rentang waktu 2015 hingga 2022, tanpa melalui mekanisme pembatalan sertifikat lama melalui pengadilan. Padahal, menurut hukum, sertifikat hanya bisa dibatalkan dengan keputusan pengadilan, bukan sepihak oleh BPN.
Data dari proses dismissal di PTUN Palangka Raya mengungkap adanya tumpang tindih puluhan SHM yang terbit di atas dua sertifikat lama atas nama Nio Hermanto. Beberapa di antaranya atas nama Eny Suryanti, Gumer, Irawan Henry, Gunawan Henry, hingga Yayasan Kustiana dan Pandang Silalahi.
“Dari hasil pengukuran lapangan dan pengecekan aplikasi Sentuh Tanahku, kami menemukan total ada 38 SHM yang berdiri di atas tanah milik klien kami. Bahkan jumlah aslinya bisa lebih dari itu,” ujar Edward.
Yang mengejutkan, tanah tersebut dibeli klien mereka dari seorang mantan jaksa bernama Taufik yang kala itu bertugas di Kejari Sampit. “Sertifikat diterbitkan tahun 1993 dan dijual ke klien kami pada 1997, berarti sudah balik nama atas nama Nio Hermanto. Tidak ada persoalan hukum saat itu,” tambahnya.
Kasus ini telah diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya dan proses mediasi dinyatakan gagal. Tim kuasa hukum kini siap melanjutkan ke jalur pidana dengan melaporkan oknum-oknum yang terlibat dalam penerbitan sertifikat ganda.
“Kami menduga ada satu oknum pejabat di BPN menjabat sebagai ‘Kasi’ yang merekayasa semua ini. Kami akan pidanakan orang-orang yang terlibat, ini sudah sangat merugikan klien kami,” tegasnya.
Pihaknya juga berharap agar persoalan ini membuka mata publik dan menjadi pintu masuk untuk membongkar praktik mafia tanah lainnya di Kotim.
“Kotim tidak akan maju jika praktik mafia tanah seperti ini terus dibiarkan. Kami minta aparat penegak hukum dan Kementerian ATR/BPN turun tangan serius menangani kasus ini,” tegas Edward.
Kasus tumpang tindih sertifikat tanah ini terjadi di Km 6 Jalan Jenderal Sudirman, Bina Karya, Kelurahan Pasir Putih. Dengan luas tanah hampir 30 ribu meter persegi. Masalah ini disebut sebagai salah satu kasus agraria terbesar di Kotim dalam beberapa tahun terakhir.
Sebelumnya, dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya Nomor 13/G/2023/PTUN.PLK, bahwa sengketa yang diajukan termasuk dalam kategori sengketa kepemilikan hak atas tanah. Oleh karena itu, sebelum perkara dapat diperiksa oleh PTUN sebagai perkara tata usaha negara, sengketa kepemilikan tersebut harus terlebih dahulu diselesaikan di pengadilan yang berwenang menangani perkara keperdataan.
PTUN tidak memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa perkara a quo, karena inti perkaranya menyangkut hak kepemilikan atas tanah, bukan semata-mata keputusan administrasi. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang menyatakan bahwa apabila pokok sengketa berkenaan dengan status kepemilikan, maka forum yang tepat adalah pengadilan umum atau perdata, bukan PTUN.
Dengan demikian, proses hukum selanjutnya akan diarahkan untuk membuktikan unsur pidana dan perdata dalam penerbitan ganda sertifikat tersebut sebelum kembali diajukan dalam ranah sengketa tata usaha negara. (li)