Dampak Penertiban Lahan Sawit Mulai Terasa, GAPKI Kalteng Minta Pemerintah Lebih Bijak

Ketua GAPKI Kalteng Syaiful Panigoro (kiri).
TINTABORNEO.COM, Sampit – Penertiban kawasan hutan di Kalimantan Tengah (Kalteng) mulai menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha sawit. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalteng berharap pemerintah mengambil langkah lebih bijak dalam menata sektor ini, mengingat dampak besar yang sudah mulai dirasakan.
Ketua GAPKI Kalteng, Syaiful Panigoro, mengatakan para pengusaha saat ini menghadapi situasi sulit akibat kebijakan penertiban yang dijalankan Tim Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025.
“Kita harus hadapi ini. Tidak ada jalan lain selain berharap ke depan ada kebijakan yang lebih menata dan memberikan kepastian untuk sektor sawit,” kata Syaiful saat ditemui di acara perkebunan kelapa sawit di Sampit, Senin (28/4/2025).
Menurutnya, banyak perusahaan yang sudah menjalani proses perizinan sesuai aturan, namun tetap terkena penertiban lantaran proses administrasi yang belum rampung.
“Secara administratif, banyak izin yang belum selesai. Tapi karena Perpres 5 diberlakukan, lahan yang kita kelola dianggap masih kawasan hutan,” ungkapnya.
Syaiful menyoroti ketidakpastian regulasi yang justru memperburuk kondisi dunia usaha. Ia menekankan perlunya keselarasan persepsi antara pemerintah dan pelaku industri, khususnya terkait dokumen pendukung lahan.
“Kalau memang punya dokumen, tinggal dibuka sesuai ketentuan. Yang penting, pengusaha dan pemerintah punya satu pandangan,” tegasnya.
Diketahui, target penertiban kawasan hutan di Kalimantan mencapai satu juta hektare, namun baru sekitar 200 ribu hektare yang tertangani. Secara nasional, dari target tiga juta hektare, baru 800 ribu hektare yang diselesaikan, sementara sisanya masih dalam proses.
“Khusus Kalteng, datanya saya tidak pegang persis, tapi areanya cukup luas. Tentu ini berimbas juga ke masyarakat,” tambahnya.
Penurunan produksi juga menjadi perhatian GAPKI. Syaiful mencatat, sepanjang 2023 hingga 2024, produksi sawit di Kalteng turun sekitar 12 persen. Untuk 2025, potensi penurunan bahkan bisa mencapai 20 persen seiring berjalannya penertiban.
Meski demikian, hingga kini belum ada laporan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran di sektor perkebunan. Namun Syaiful mengakui sudah ada tanda-tanda pengurangan tenaga kerja di lapangan.
Untuk lahan yang sudah ditertibkan, aktivitas perkebunan masih berjalan, namun lahan tersebut kini dipasangi plang bertuliskan “kawasan dikuasai negara”. Pengelolaan selanjutnya akan dialihkan ke PT Agrinas Palma Nusantara, perusahaan negara yang ditunjuk mengelola aset tersebut.
Syaiful juga menyoroti seringnya perubahan regulasi di sektor ini. Ia menyebutkan mulai dari Perda Nomor 8 Tahun 2003, TGHK 529, PP 61, UU Cipta Kerja, hingga kini Perpres 5 Tahun 2025, membuat banyak investasi menjadi tidak pasti.
“Kita sudah berinvestasi besar, tapi karena aturan berubah-ubah, izin yang belum selesai malah dianggap pelanggaran,” keluhnya.
GAPKI Kalteng berharap ke depan ada kepastian hukum yang lebih kuat agar sektor sawit tetap bisa berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian daerah. (dk)