Keluarga Burhan Harap Mediasi Sengketa Lahan dengan PT SKD Berjalan Lancar

Keluarga Burhan usai sidang di PN Sampit dengan PT SKD. Senin, (20/1/2025)
TINTABORNEO.COM, Sampit – Sengketa lahan antara masyarakat adat Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Kalimantan Tengah, dengan PT Sapta Karya Damai (SKD) terus berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Sampit. Dalam persidangan yang digelar pada (20/1), pihak keluarga Burhan Gase dan PT SKD sepakat untuk melanjutkan proses mediasi pada 3 Februari 2025.
ADV. Sapriyadi, S.H, perwakilan keluarga Burhan Gase, menyampaikan bahwa hingga saat ini, kedua belah pihak belum mencapai titik temu terkait klaim kepemilikan lahan yang disengketakan.
“Proses mediasi akan dilanjutkan pada tanggal 3 Februari 2025. Sidang pertama ini masih dalam tahap menentukan mediator yang akan memimpin mediasi tersebut. Nantinya, dalam mediasi itu, kita akan memberikan resume tentang keinginan dan tuntutan masyarakat adat,” jelas Sapriyadi.
Ia menambahkan bahwa keluarga Burhan dan masyarakat adat sangat berharap Pengadilan Negeri Sampit, khususnya hakim yang memimpin persidangan, akan memberikan keputusan yang seadil-adilnya bagi masyarakat adat, terutama keluarga Burhan yang mengklaim lahan di Sungai Gentui.
“Kami yakin dan percaya bahwa Pengadilan Negeri Sampit akan memutuskan perkara ini dengan adil,” ujarnya.
Sapriyadi juga menyatakan bahwa mediasi merupakan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan.
“Kami berharap bahwa dalam mediasi nanti, melalui resume yang kami ajukan di hadapan mediator, masalah ini bisa diselesaikan dengan baik,” tambahnya.
Terkait tanggapan dari pihak perusahaan, Sapriyadi menjelaskan bahwa PT SKD menyatakan akan mengikuti mekanisme yang ada dalam proses mediasi ini.
“Pihak perusahaan menyampaikan bahwa mereka akan mengikuti prosedur dan Mekasinisme yang ada, “ ungkapnya.
Meski proses mediasi tengah berlangsung, Sapriyadi menegaskan bahwa masyarakat adat tetap menguasai lahan yang disengketakan. “Selama proses mediasi ini, kami masih menduduki lahan tersebut. Kami hanya ingin hak kami diakui dan diperoleh kembali,” tegasnya.
Sengketa lahan ini bermula dari klaim masyarakat adat bahwa lahan mereka seluas sekitar 160 hektar di sepanjang sungai Gentui dirampas oleh PT SKD tanpa proses ganti rugi yang jelas. Lahan tersebut merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat adat, yang digunakan untuk bercocok tanam dan mencari ikan di sungai. Mereka menilai bahwa lahan tersebut belum pernah diganti rugi sesuai dengan aturan yang berlaku, meskipun pihak perusahaan mengklaim sebaliknya. (li)